INDEF Minta Pemerintah dan DPR Kaji Power Wheeling dalam RUU EBET

ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah/rwa.
Ilustrasi, foto udara panel surya di Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Desa Teluk Sumbang, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, Senin (23/10/2023).
Penulis: Agung Jatmiko
10/4/2024, 15.26 WIB

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance atau INDEF Abra Talattov meminta pemerintah dan DPR mengkaji skema power wheeling dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBET). Pasalnya, menurut Abra skema ini tidak jelas dan berisiko merugikan negara.

"Pasal power wheeling ini seperti siluman, kadang muncul, kadang tenggelam. Pun tidak jelas rupa dan tujuannya. Untuk itu, kami akan mengawal kebijakan ini," kata Abra melalui keterangan tertulis, dikutip dari Antara, Rabu (10/4).

Menurutnya, skema power wheeling adalah sistem yang sangat liberal dan berisiko mengancam kedaulatan ketenagalistrikan Indonesia. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga sudah membatalkan skema unbundling dalam UU Ketenagalistrikan.

Apalagi, baik pemerintah dan DPR hingga kini belum mengungkap alasan masuknya skema power wheeling dalam RUU EBET. Sehingga, pemerintah dirasa perlu untuk menjelaskan secara terperinci mengenai skema ini.

Menurut Abra, masuknya skema power wheeling sebagai insentif dalam RUU EBET juga tidak beralasan. Sebab, pemerintah sudah menunjukkan arah kebijakan energi baru dan energi terbarukan secara jelas dalam RUPTL 2021-2030.

"Dalam RUPTL, yang seringkali diklaim sebagai green RUPTL, sebetulnya sudah ada peningkatan porsi EBT yang signifikan. Bahkan, ada tambahan EBT 20,9 gigawatt, dimana 56,3% adalah porsi swasta," ujarnya.

Ia menjelaskan, dengan ada porsi swasta pada roadmap tersebut, sebetulnya sudah cukup menjadi keyakinan investor, bahwa memang negara punya arah yang cukup jelas untuk mendorong bauran suplai listrik dari EBT.

Kemudian, pada sisi suplai negara telah membuka ruang yang cukup lebar terhadap peran swasta. Saat ini, menurutnya yang bermasalah justru sisi demand atau permintaan yang masih sangat kecil.

"Konsumsi listrik di Indonesia masih jauh jika dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara, bahkan belum mencapai separuh dari Vietnam yang mencapai sekitar 2.500 KwH per kapita. Sisi demand ini yang seharusnya penting untuk dibahas, bukan suplainya," ujar Abra.

Sebagai informasi, skema power wheeling dalam RUU EBET merujuk kepada mekanisme yang memperbolehkan pihak swasta atau independent power producer (IPP) membangun pembangkit listrik dan menjual secara langsung terhadap masyarakat melalui jaringan transmisi PLN. Artinya, PLN tidak menjadi single multiple buyer karena pembangkit langsung menjual listrik ke konsumen.

Reporter: Antara