ESDM: Perang Iran - Israel akan Kerek Harga Minyak hingga US$ 10/barel

ANTARA FOTO/Dedhez Anggara/tom.
Petugas melakukan pengecekan water sprinkle di Stasiun Pengumpul ABG Pertamina EP Jatibarang Field di Indramayu, Jawa Barat, Selasa (27/2/2024).
Penulis: Mela Syaharani
16/4/2024, 13.07 WIB

Kementerian ESDM menilai meletusnya konflik antara Iran dan Israel berpotensi mengerek harga minyak dunia. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji menyebut kenaikan harga ini tergolong dalam premium risk.

“Menurut kami (naik) sekitar US$ 5-10 per barel. Untuk naik ke US$ 100 per barel (masih) bisa terjadi,” kata Tutuka saat ditemui di Kementerian ESDM pada Selasa (16/4).

Terlebih, menurutnya posisi Indonesia yang mengimpor minyak mentah dan BBM akan terbebani dengan kenaikan harga minyak akibat kondisi geopolitik yang memanas karena akan mengakibatkan naiknya biaya yang dikeluarkan.

”Tapi kalau menurut saya kenaikan itu spike tapi terus turun lagi, tapi kita tidak boleh lengah. Dalam kondisi seperti ini (kalau lengah) sedikit saja, (bisa) salah besar,” ujarnya.

Tutuka menjelaskan, proyeksi kenaikan harga minyak sebesar US$ 5-10 per barel ini berasal dari faktor produksi dari Iran yang mencapai 3,4 juta barel per hari (bph) dengan total impor 1,2 juta bph.

Meski ada potensi kenaikan harga hingga US$ 10 per barel, Tutuka mengatakan saat ini belum menyebabkan beban pada keuangan negara dengan membengkaknya subsidi energi.

“Sampai saat ini belum, karena menurut saya sebaiknya kita (cermat) step by step dalam hal kebijakan. Dalam hal persiapan kemungkinan terburuk kami lakukan, tapi dalam kebijakan keputusan jangan cepat-cepat. Saat ini kami melihat lonjakan, jadi kalau lonjakan ini tidak perlu direspon segera,” kata dia.

Tutuka mengatakan dengan adanya keadaan ini seluruh pihak harus bersiap-siap akan kemungkinan terburuk yang dapat terjadi. Kendati demikian, hingga saat ini Tutuka mengatakan anggaran subsidi BBM masih aman jika konflik Iran-Israel hanya berlangsung singkat.

“Kalau sekarang sudah kontrak ke depan jadi kalau tidak ada sesuatu yang ekstrem sekali saya kira masih oke dan cadangan nasional crude kita plus yang ada di kapal in transit 30 hari. Lalu 10 hari yang ada di refinery, plus 15 hari lagi, totalnya 30 harian. Kalau LPG BBM saya kira aman. Kalau dari situ Insya Allah kita aman,” ujarnya.

Sebelumnya, Tutuka menjabarkan bahwa setiap kenaikan ICP US$ 5 per barel akan menambah subsidi BBM sebesar Rp 190 miliar. Kenaikan serupa juga berdampak pada penambahan subsidi LPG sejumlah Rp 5,04 triliun.

Peningkatan ICP US$ 5 per barel juga ikut berdampak pada kompensasi solar bertambah Rp 6,42 triliun. "Ini sangat tidak menguntungkan untuk Indonesia," ujar Tutuka.

Reporter: Mela Syaharani