Kementerian ESDM akan mengevaluasi kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) atau gas murah. Koordinator Penyiapan Program Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Rizal Fajar Muttaqin mengatakan evaluasi tersebut utamanya menilik sisi penerimaan negara.
Dia menyampaikan bahwa benefit yang diterima industri dari penyesuaian HGBT tidak sebanding dengan anggaran yang telah digelontorkan oleh Kementerian Keuangan.
“Meski Kementerian Perindustrian menyampaikan ada tiga kali lipat benefit, tapi itu belum terkuantifikasi, karena baru nilai ekspor yang bisa terkuantifikasi,” ujarnya dalam Forum Gas Bumi 2024 di Bandung, Rabu (19/6).
Dia juga mengatakan bahwa keputusan terkait lanjut atau tidaknya program ini ada di tangan Presiden Joko Widodo (Jokowi). “Juli-Agustus ini kami evaluasi secara keseluruhan untuk disampaikan ke Presiden. Nanti akan diputuskan oleh Presiden,” kata dia.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin Taufiek Bawazier menyampaikan nilai tambah ekonomi yang diperoleh dari kebijakan gas murah bagi perekonomian nasional mencapai Rp 157,20 triliun.
Angka tersebut merupakan keuntungan tiga kali lipat yang didapatkan dari modal keuangan negara yang dikeluarkan pada 2021 hingga 2023 untuk program gas murah, yang sebesar Rp 51,04 triliun. Tujuh sektor industri penerima HGBT disebut berhasil meningkatkan nilai tambah ekspor sebesar Rp 84,98 triliun pada periode yang sama.
Kemudian, multiplier effect dari pemberian gas murah juga mendorong investasi baru sebesar Rp 31,06 triliun, serta menurunkan subsidi pupuk sebesar Rp 13,33 triliun karena penurunan harga pokok penjualan produksi.
Sementara itu, Ikatan Perusahaan Gas Bumi Indonesia (IPGI) meminta kebijakan HGBT yang wacananya akan dilanjutkan setelah berakhir pada 2024, dievaluasi.
Ketua umum IPGI Eddy Asmanto dalam keterangan di Jakarta, Senin (10/6), mengutarakan bahwa evaluasi kebijakan gas murah sangat diperlukan karena berdampak luas pada seluruh rantai suplai gas bumi, baik dari sektor hulu, midstream, maupun hilir.
Eddy menambahkan bahwa HGBT ini berdampak pada penurunan penerimaan negara di sektor hulu yang diharapkan dapat meningkatkan pendapatan yang diperoleh negara di sektor hilir, seperti kenaikan pendapatan pajak, kenaikan penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan daya saing industri melalui penurunan harga.
“Sebagai informasi, pada tahun 2021 dan 2022 negara mengalami penurunan pendapatan dari ketentuan HGBT sebesar Rp 29,39 triliun, namun belum ada data kuantitatif yang menggambarkan kenaikan di sektor hilir. Jika kebijakan HGBT ini terus dilanjutkan, IPGI mengharapkan ada evaluasi yang menyeluruh,” kata Eddy.
Maksud Eddy untuk evaluasi menyeluruh ini, meliputi fairness (berkeadilan) terhadap semua stakeholder yang terkait baik di sektor hulu, midstream, hilir, maupun industri sebagai pengguna akhir gas bumi.
Untuk diketahui, kebijakan HGBT atau gas murah sebesar US$ 6 per MMBTU secara khusus diberlakukan pemerintah sejak 2020 bagi tujuh kelompok industri, yakni industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, gelas kaca, dan sarung tangan karet.
Berdasarkan Keputusan Menteri ESDM RI Nomor 91.K/MG.01/MEM.M/2023 tentang Pengguna Gas Bumi Tertentu dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri, HGBT akan berakhir pada 31 Desember 2024.
Menteri ESDM Arifin Tasrif pada Mei lalu, menyatakan bahwa kebijakan HGBT atau harga gas murah di bawah US$ 6 per MMBTU bagi tujuh kelompok industri akan dilanjutkan.