Bank Dunia Ramal Harga Batu Bara Turun 28% Tahun Ini dan 12% pada 2025

ANTARA FOTO/Andri Saputra.
Pekerja mengoperasikan alat berat saat bongkar muat batu bara ke dalam truk yang didatangkan dari Samarinda di Pelabuhan PLTU Tidore Kepulauan, Maluku Utara, Kamis (4/1/2023).
Penulis: Mela Syaharani
24/6/2024, 19.58 WIB

Bank Dunia memperkirakan tren koreksi harga batu bara akan berlanjut hingga 2025. Harga diprediksi turun 28% tahun ini dan 12% pada tahun berikutnya. Harga batu bara sempat naik tipis pada Mei lalu setelah turun 8% pada kuartal pertama 2024.

“Risiko penurunan harga didasari oleh kecukupan pasokan dan pertumbuhan permintaan global yang lebih lemah dari perkiraan,” kata Ekonom Energi Senior Bank Dunia Paolo Agnolucci dalam laporannya, dikutip Senin (24/6).

Selain kecukupan pasokan, penurunan harga juga didukung oleh penetrasi listrik terbarukan yang terus meningkat secara bertahap. Meski begitu, harga batu bara ini masih jauh lebih tinggi jika dibandingkan rata-rata 2015 sampai 2019.

“Penurunan harga yang tajam telah terjadi pada 2024, dibandingkan dengan rata-rata 2023, dengan penurunan lebih lanjut yang diantisipasi pada tahun 2025 seiring dengan meningkatnya permintaan listrik,” kata Agnolucci.

Kinerja Batu Bara 2023

Bank Dunia mencatat, konsumsi batu bara di seluruh dunia pada 2023 mencapai rekor tertinggi, meningkat 120 juta ton atau 1,4% dibandingkan 2022.

Akan tetapi peningkatan ini dibarengi dengan melambatnya pertumbuhan permintaan batu bara akibat lemahnya aktivitas ekonomi global, tingginya penetrasi listrik energi bersih dan harga gas alam yang rendah.

Di Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE), permintaan turun masing-masing sekitar 100 juta ton, sementara permintaan naik sekitar 220 juta ton di Cina dan 100 juta ton di India. Pergeseran permintaan global ke Asia masih berlanjut pada 2023, dengan Cina dan India menyumbang sekitar 70% dari total konsumsi.

Sementara dari sisi produksi, Bank Dunia mencatat pada 2023 terjadi peningkatan sebesar 150 juta ton. Di India produksi meningkat sekitar 100 juta ton, sementara produksi Cina tumbuh sekitar 50 juta ton.

Sebaliknya, produksi di AS dan UE masing-masing turun sekitar 50 juta ton dan 70 juta ton. Kemudian di Australia, produksi stagnan karena kekurangan tenaga kerja dan ekspor yang lesu ke Cina yang belum sepenuhnya pulih setelah Cina mencabut larangan impor Australia pada Januari 2023, yang awalnya diberlakukan pada 2021.

Reporter: Mela Syaharani