Prospek Positif Permintaan Cina, Pengusaha Yakin Harga Batu Bara Naik

ANTARA FOTO/Andri Saputra.
Pekerja mengoperasikan alat berat saat bongkar muat batu bara ke dalam truk yang didatangkan dari Samarinda di Pelabuhan PLTU Tidore Kepulauan, Maluku Utara, Kamis (4/1/2023).
Penulis: Mela Syaharani
17/7/2024, 15.39 WIB

Permintaan batu bara di Cina diramal naik pada kuartal ketiga tahun ini yang didorong oleh faktor musiman. Prospek positif ini berpotensi mengerek harga batu bara hingga akhir tahun 2024.

Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) mengatakan bahwa ada proyeksi permintaan batu bara dari Cina akan meningkat pada dua kuartal terakhir tahun ini.

“Ini salah satunya dampak dari musim dingin. Kenaikan di semester II diprediksi sekitar 5-10%,” kata Plt Direktur Eksekutif APBI/ICMA Gita Mahyarani kepada Katadata.co.id pada Rabu (17/7).

Gita menyebut, naiknya permintaan batu bara juga berpotensi meningkatkan harga batu bara pada semester II ini. Namun, dia menyampaikan hal ini belum bisa dipastikan sepenuhnya karena harus melihat kondisi ekonomi Cina.

Gita juga mengatakan bahwa pada 2023 kinerja ekspor batu bara dari Indonesia ke Cina pada semester kedua lebih rendah dibanding semester pertama. Pada paruh kedua dia menyebut volume ekspornya hanya 109,73 juta ton.

Kendati demikian, pada Juni lalu kinerja ekspor batu bara Indonesia mengalami penurunan baik secara volume maupun nilai. “Namun, sejauh ini permintaan 2024 Cina masih stabil,” ujarnya.

Harga batu bara dunia sepanjang tahun ini bergerak fluktuatif. Mengawali tahun ini harga merosot dari level US$ 146 per ton pada akhir 2023 ke level terendahnya di US$ 115 per ton pada pekan ketiga Februari.

Setelah itu harga bangkit hingga menyentuh level tertinggi tahun ini di US$ 147,75 per ton pada awal Mei. Namun harga kembali terkoreksi hingga kini bergerak di kisaran US$ 130-135 per ton.

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan volume ekspor batu bara RI mencapai 32,66 juta ton pada Juni 2024. Angka ini turun 3,06% dibandingkan capaian Mei yang sebesar 33,69 juta ton.

Sementara untuk nilai ekspor batu bara RI sebesar US$ 2,49 miliar pada Juni 2024. Nilai ini turun 0,36% secara bulanan dibandingkan capaian Mei 2024 sebesar US$ 2,5 miliar.

Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, kinerja ekspor batu bara yang menurun ini disebabkan oleh berkurangnya penggunaan batu bara di beberapa negara sebagai sumber energi.

“Kita tahu bahwa negara-negara di bagian utara, Cina dan lain-lain sudah memasuki musim panas. Sehingga permintaan terhadap batu bara biasanya selama musim panas itu relatif lebih turun, nanti biasanya naik lagi pada saat memasuki musim dingin,” kaya Amalia dalam konferensi pers, dikutip Selasa (16/7).

Berdasarkan data BPS, secara tahunan volume ekspor batu bara meningkat sebanyak 14,2%. Pada Juni 2023 jumlahnya hanya mencapai 28,6 juta ton. Kendati demikian, secara tahunan nilai ekspor batu bara menurun 6,68% dari Juni 2023 yang mencapai US$ 2,67 miliar.

“Batu bara menurun secara bulanan disebabkan oleh penurunan volume dan harga. Sedangkan secara tahunan penurunan lebih disebabkan oleh penurunan harga,” ujarnya.

Produksi Batu Bara Cina

Menurut data biro statistik Cina, produksi batu bara pada Juni 2024 naik ke level tertinggi dalam enam bulan terakhir karena permintaan yang tinggi di musim panas.

Hal ini didorong oleh meningkatnya produksi batu bara di tambang-tambang Cina untuk memenuhi permintaan musiman dan inspeksi keselamatan yang membatasi produksi pada awal tahun ini berkurang.

Data dari Biro Statistik Nasional (NBS) menunjukkan, Cina menambang 405,38 juta metrik ton batu bara pada Juni. Jumlah ini meningkat 3,6% dan menjadi capaian tertinggi sejak Desember 2023.

Level tertinggi dalam enam bulan ini dihitung dengan mengambil rata-rata produksi Januari-Februari, karena NBS melaporkan dua bulan tersebut dalam sebuah rilis data gabungan untuk mengurangi dampak dari liburan tahun baru Imlek yang jatuh di bulan tersebut.

Para analis di Galaxy Futures mengaitkan produksi yang lebih tinggi di Juni dengan efek musiman dari musim panas di belahan Bumi Utara yang meningkatkan permintaan akan pendingin ruangan seiring dengan kenaikan suhu.

Data NBS juga mencatat bahwa produksi harian rata-rata di Juni naik menjadi 13,5 juta ton yang juga merupakan yang tertinggi sejak Desember.

Reporter: Mela Syaharani