Pakar Duga Rencana Pembatasan BBM Subsidi Muncul karena Kondisi Fiskal
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan alasan munculnya wacana pembatasan bahan bakar minyak (BBM) subsidi berkaitan dengan kondisi fiskal Indonesia saat ini yang sedang tidak baik-baik saja.
Komaidi menyebut hal ini mungkin disebabkan oleh penerimaan negara tahun ini yang tidak sesuai target namun disaat yang bersamaan pengeluaran negara justru melampaui anggaran yang ditetapkan.
“Karena kan ada beberapa syok harga di internasional, seperti pergerakan harga minyak lebih tinggi dari asumsi APBN jadi mestinya ada penyesuaian harga BBM,” kata Komaidi kepada Katadata pada Rabu (18/7).
Meski harusnya ada penyesuaian, Komaidi menyebut pemerintah saat ini masih ragu untuk menjalankan rencana pembatasan ini. Hal ini tampak dari perbedaan pendapat antar Menteri Kabinet Indonesia Maju terkait wacana tersebut.
“Tapi pemerintah mungkin tidak menaikkan harga BBM karena resiko politiknya besar, sehingga yang bisa dilakukan untuk mengoptimalkan dari sudut pandang pemerintah adalah membatasi,” ujarnya.
Sebab menurutnya pembatasan BBM subsidi ini paling tidak dapat mengurangi beban APBN. “Kondisi ini tidak mudah karena sebentar lagi ada pergantian pemerintahan. Saya kira presiden ingin di akhir masa jabatannya ini tidak terjadi gejolak, sehingga wacana ini relatif maju-mundur,” ucapnya.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan urgensi pembatasan subsidi BBM dilakukan untuk memberikan ruang fiskal yang lebih bagi pemerintahan Prabowo. Hal ini dilakukan karena adanya kekhawatiran batasan defisit anggaran tahun ini akan melebar hingga 2,7%.
“Artinya sangat mungkin dengan berbagai program prioritas Prabowo ke depan, defisit anggarannya bisa menyentuh level 3%, termasuk makan bergizi gratis dan juga melanjutkan IKN misalnya,” kata Bhima kepada Katadata.
Bhima menyebut, jika pemerintah saat ini tidak membatasi subsidi energi maka dikhawatirkan program-program ke depan termasuk warisan Pemerintahan Presiden Jokowi tidak akan bisa diselesaikan, karena terkendala dana. Namun dia menyebut, wacana soal BBM ini memang selalu muncul setiap 5 tahun sekali pada awal pemerintahan baru.
“Masalahnya konteks tekanan daya beli masyarakat saat ini sedang berat, jadi pemerintah tidak bisa hanya egois berpikir soal defisit APBN yang dikelola tapi juga bagaimana efek nanti pada kelas menengah rentan,” ujarnya.
Bhima juga menyebut, saat ini juga terjadi permasalahan soal banyaknya kelas menengah rentan yang tidak masuk di dalam jaring pengaman sosial. Padahal menurutnya kelas menengah rentan ini sangat sedikit di atas garis kemiskinan namun golongan ini bukan orang kaya.
Jadi golongan masyarakat ini bukan termasuk orang yang dianggap sangat mampu namun faktanya, kelompok ini salah satu pemakai BBM subsidi yang paling besar.
“Pembatasan yang seharusnya dilakukan dengan tegas adalah kebocoran-kebocoran solar subsidi yang terjadi pada pertambangan dan perkebunan skala besar, terutama di luar pulau Jawa. Pemerintah juga harus penegakan hukum sanksi berat bahkan sampai pencabutan izin perusahaan,” ucapnya.
Sebab menurutnya, jika pembatasan BBM subsidi ini disasarkan untuk golongan retail, dan masyarakat golongan rentan dikhawatirkan akan menimbulkan efek domino.
“Bisa sampai ke inflasi, daya beli turun dan mengganggu konsumsi rumah tangga. Itu yang harus hati-hati jaring pengaman sosial kita kecil tidak cukup untuk menahan gejolak efek pembatasan BBM bersubsidi,” kata dia.