Kementerian ESDM dan Bappenas menemukan adanya anomali dalam dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang menyebabkan tingginya angka kemiskinan, alih-alih meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah kaya pertambangan.
Staf Ahli Menteri ESDM Bidang Perencanaan Strategis, M. Idris F. Sihite mengatakan bahwa pengelolaan SDA sudah seharusnya dapat memberikan kesejahteraan dan memutar ekonomi wilayah sekitar, bukan hanya mendapatkan dampak buruk akibat kegiatan pertambangan yang tidak bertanggung jawab.
“Berdasarkan hasil diskusi Kementerian ESDM dengan Bappenas, yang menyimpulkan adanya anomali terhadap pengelolaan sumber daya alam di sejumlah wilayah Indonesia yang kaya akan sumber daya alam justru angka kemiskinannya cukup tinggi,” ujarnya, dikutip dari laman Kementerian ESDM, Senin (22/7).
Menurut Idris, penghentian anomali pengelolaan SDA tersebut membutuhkan upaya yang komprehensif dan berkelanjutan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, pelaku usaha, masyarakat sipil, dan akademisi.
“Ini pekerjaan rumah kita bersama untuk mengatasi persoalan tersebut, apakah tata kelola sumber daya alam sudah sejalan dengan tujuan pasar 33 UUD 1945, yakni sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat,” ujarnya.
Sihite mengungkapkan, anomali yang secara kasat mata ada salah satunya yaitu di Provinsi Sumatera Selatan yang merupakan provinsi dengan cadangan batu bara terbesar kedua di Indonesia sebesar 9,3 miliar ton.
Pada 2023, provinsi ini memproduksi 104,68 juta ton batu bara, serta menghasilkan penerimaan negara sebesar Rp 9,898 triliun dengan rincian iuran tetap Rp 66,4 miliar dan royalti Rp 9,832 triliun. Namun hal tersebut tidak juga mampu mengurangi tingkat kemiskinan.
Tambang Ilegal
Salah satu penyebab dari anomali tersebut menurut Sihite adalah banyaknya pertambangan tanpa izin di Provinsi Sumatera Selatan yang mencari keuntungan sesaat tanpa menghiraukan kaidah-kaidah pertambangan yang baik dan bertanggung jawab.
“Provinsi Sumsel merupakan salah satu lokasi PETI terbanyak di Indonesia. PETI merupakan tindak pidana pertambangan subsektor minerba dengan delik khusus (lex spesialis) di luar KUHP yang memuat sanksi pidana dengan beb (Pasal 158 s/d Pasal 164 UU No 3 Th 2020),” ujar Sihite.
Dia berharap para penegak hukum dapat melakukan reformulasi strategi pengungkapan perkara PETI berbasis scientific evidence dan 'catch the big fish'.
“Semua komoditas tambang punya indentitas seperti DNA, sehingga dapat diidentifikasi menggunakan pendekatan scientific evidence, yang basisnya terukur di laboratorium. Bukti ilmiah merupakan bukti yang tidak terbantahkan untuk menghitung kerugian negara dari praktek pertambangan illegal,” kata dia.
Guna melakukan penghitungan dampak kerugian negara, Sihite mengatakan Kementerian ESDM memiliki kemampuan mengungkap data baku, terukur, dan komprehensif untuk membuktikan secara riil kerugian negara ditimbulkan bukan sekedar perkiraan.
Dia meminta para penegak hukum untuk mengubah cara pengungkapan perkara, dengan membalik pengungkapan perkara dari hilir dan memutus supply chain dari end user sampai dengan illegal refinery.
Pengungkapan berbasis AML (anti money laundering) atau anti pencucian uang dan follow the money dengan mengintegrasikan fungsi dan kewenangan 'pihak-pihak terkait.
“Opsi tindakan hukum lainnya bersifat Non Pidana secara komulatif maupun terpisah, untuk memulihkan kerugian negara dan 'memaksa' para pelaku mematuhinya (terutama untuk kasus reklamasi tambang),” kata Sihite.
Sihite juga mengingatkan, Kementerian ESDM saat ini belum memiliki unit khusus yang membidangi penegakan hukum di sektor ESDM seperti halnya pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Ia menekankan perlunya membangun sinergitas yang konstruktif dan berkelanjutan antara APH Kejaksaan (sebagai Penyidik, Penuntut umum maupun JPN) dengan aparatur Kementerian ESDM untuk mentransformasikan pengetahuan aspek teknis pertambangan (minerba dan migas) dan prinsip-prinsip good governance dalam menunjang keberhasilan pelaksanaan tugas masing-masing.
Kerja sama antara pemerintah, perusahaan, masyarakat, dan semua pemangku kepentingan sangat dibutuhkan untuk menciptakan pengelolaan pertambangan yang berkelanjutan dengan menerapkan prinsip good mining practice.
Sebelumnya, Sekretaris Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Siti Sumilah Rita Susilawati mengungkapkan pentingnya sinergi berbagai pemangku kebijakan untuk memastikan setiap tahapan pengelolaan minerba dan migas dilakukan secara transparan dan akuntabel.
“Regulasi harus ditegakkan secara konsisten dan pengawasan harus dilakukan secara ketat. Kita perlu memastikan setiap pelaku usaha mematuhi peraturan yang berlaku dan bertanggung jawab terhadap dampak yang ditimbulkan,” kata Rita.