Bantah Hambat Persetujuan RKAB Nikel, Menteri ESDM: Sudah Disetujui 240 Juta Ton

Katadata / Wahyu Dwi Jayanto
Ilustrasi tambang nikel.
Penulis: Happy Fajrian
23/7/2024, 15.14 WIB

Menteri ESDM Arifin Tasrif membantah bahwa pihaknya menghambat persetujuan rencana kerja dan anggaran belanja (RKAB) perusahaan nikel yang disebut menjadi penyebab perusahaan smelter mengimpor bijih.

“Saat ini RKAB (yang disetujui) sudah 240 juta ton. Kebutuhannya cuma 210 juta ton,” ujar Arifin usai meresmikan peluncuran Sistem Informasi Mineral dan Batubara (Simbara) untuk komoditas nikel dan timah, dikutip Selasa (23/7).

Sebelumnya, per 3 Juli 2024, Kementerian ESDM melaporkan telah menyelesaikan 460 dari 770 RKAB yang diajukan oleh perusahaan mineral. “Dari jumlah tersebut, 421 RKAB disetujui, dan 39 lainnya ditolak,” kata Sekretaris Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Siti Sumilah Rita Susilawati kepada Katadata.co.id pada Kamis (4/7).

Data rencana produksi berdasarkan RKAB yang telah disetujui per 3 Juli 202 yaitu emas 20,8 ton, perak 124,7 ton, nikel 235.9 juta ton, tembaga 101 juta ton, bauksit 32 juta ton, timah 57 ribu ton, konsentrat Besi 6,8 juta ton, dan bijih galena 242 ribu ton.

Impor Nikel Perusahaan Smelter

PT Kalimantan Ferro Industry menyatakan bahwa masih mengimpor nikel dari Filipina untuk operasional fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) di Kalimantan Timur. Hal ini disebabkan oleh terkendalanya pasokan nikel ore dalam negeri.

“Kami harus mengambil dari Filipina karena beberapa tambang pemasok belum mendapatkan persetujuan RKAB sehingga kami tidak bisa membeli nikel mereka,” kata Owner Representative PT KFI Ardhi Soemargo dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VII DPR RI pada Senin (8/7).

Ardhi memastikan, sebelum terkendala RKAB seluruh pasokan nikel yang dikelola smelter PT KFI 100% nikel orenya dipasok dari Indonesia. Namun karena kondisi pemasok yang tidak dapat menjual nikel mereka sehingga PT KFI terpaksa membeli nikel dari Filipina.

“Di belakang kami ada 1.400 orang pekerja sehingga kami tidak boleh menutup atau menurunkan kegiatan agar pabrik kami terus berjalan,” ujarnya.

Ardhi menyebut, hingga saat ini PT KFI baru mengimpor satu kapal vessel yang memuat 51.000 ton nikel. “Impor ini hanya digunakan untuk membantu kondisi kami yang saat ini kekurangan pasokan,” ucapnya.

Meskipun PT KFI tidak memiliki konsesi tambang dan hanya memiliki smelter saja, namun Ardhi mengatakan pihaknya tetap terdampak dari persetujuan RKAB yang belum didapatkan.

“Kami mengambil semua nikel dari trader, jika perusahaan belum mendapatkan RKAB maka trader tidak dapat menjual nikelnya kepada kami,” kata dia.