Data Ekonomi AS Bangkitkan Harga Minyak, Brent Naik ke Level US$ 82/Barel

Katadata / Trion Julianto
Kunjungan SKK Migas ke Tempat Pemisahan Minyak CGS PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) di Duri, Riau (31/12/2022).
Penulis: Happy Fajrian
26/7/2024, 11.53 WIB

Harga minyak naik pada perdagangan Jumat (26/7) didorong oleh rilis data ekonomi Amerika Serikat (AS) yang lebih kuat dari prediksi. Hal tersebut meningkatkan ekspektasi meningkatnya permintaan dari negara pengonsumsi energi terbesar dunia itu.

Meski begitu, kondisi ekonomi yang tak sesuai harapan di sejumlah negara Asia, seperti Cina dan Jepang, menahan laju kenaikan harga.

Minyak mentah Brent untuk kontrak September naik menjadi US$ 82,44 per barel, dan minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS naik menjadi US$ 78,32.

Ekonomi AS tumbuh 2,8% per tahun pada kuartal II 2024, lebih tinggi dari proyeksi analis sebesar 2%, seiring pertumbuhan pada belanja domestik dan belanja modal perusahaan, mengutip dari data resmi Departemen Perdagangan.

Di saat yang sama tekanan inflasi mereda, yang meningkatkan harapan bank sentral AS, The Federal Reserve atau The Fed, akan memangkas suku bunga pada September mendatang. Suku bunga yang lebih rendah akan mendorong perekonomian yang dapat meningkatkan permintaan energi.

"Data PDB ini mendukung persepsi bahwa ekonomi AS siap untuk soft landing, dengan inflasi yang mereda, dan pemotongan suku bunga Fed pertama dalam beberapa tahun kemungkinan akan terjadi pada September, sementara ekonomi tumbuh lebih kuat dari yang diharapkan," kata Bob Yawger, direktur eksekutif energi berjangka di Mizuho Securities, dikutip dari CNBC.com, Jumat (26/7).

Data ekonomi dari Jepang dan Cina menahan laju kenaikan harga. Indeks harga konsumen inti Jepang tercatat naik 2,2% secara tahunan pada Juli. Hal ini meningkatkan ekspektasi pasar akan kenaikan suku bunga dalam waktu dekat.

Namun indeks harga yang tidak memperhitungkan biaya energi, yang dianggap sebagai ukuran terhadap inflasi yang lebih baik, naik pada laju tahunan yang paling lambat dalam hampir dua tahun terakhir. Ini menunjukkan bahwa kenaikan harga melambat karena konsumsi melemah.

Sementara itu Cina kembali menurunkan suku bunga pinjaman untuk memberikan stimulus moneter yang lebih besar untuk menopang perekonomian. "Langkah-langkah semi-panik tersebut meningkatkan kekhawatiran bahwa permintaan energi Cina mungkin akan lebih lama dari yang diharapkan," kata Yawger.

"Tidak seperti AS yang siap memangkas suku bunga karena suku bunga yang lebih tinggi akan menjinakkan inflasi, Cina memangkas suku bunga untuk merangsang ekonomi dan menghindari deflasi," ujarnya menambahkan.

Impor minyak Cina turun 10,7% secara tahunan pada Juni, sementara impor produk olahan turun 32% selama periode yang sama, menurut data bea cukai negara tersebut.

"Melihat indikator frekuensi tinggi, penurunan tersebut kemungkinan didorong oleh melemahnya permintaan Cina dan sedikit peningkatan ekspor Iran," Amarpreet Singh, analis energi di Barclays.