Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menilai bahwa alasan perusahaan nikel asal Australia, BHP, menutup tambangnya karena kalah bersaing dari sisi biaya (cost) produksi dengan Indonesia.
Terlebih dengan sumber daya nikel Australia yang berjenis sulfida yang pengeluaran produksinya lebih tinggi dibandingkan tambang Indonesia yang berjenis laterit.
“Apalagi dengan banyaknya insentif fasilitas pemerintah Indonesia, akhirnya mereka kalah bersaing dalam kompetisi production cost,” kata Sekretaris Umum APNI Meidy Katrin Lengkey dalam acara International Battery Summit 2024, dikutip Selasa (30/7).
Meidy mengatakan hal ini juga diperparah oleh kondisi harga nikel dunia yang saat ini terus menurun. Menurut dia, BPH mungkin masih bisa beroperasi jika harga nikel masih di level US$ 25.000/ton metrik kering, namun tidak dengan harga yang sempat menyentuh US$ 16.000/dmt.
“Apapun itu kan kembali ke cost production. Nah itu yang membuat BHP akhirnya mungkin menyerah daripada rugi terus,” ujarnya. “Penghentian operasi BHP peluang bagus bagi Indonesia. Hal ini menandakan Indonesia menang dalam kompetisi, apalagi kita menguasai sumber dayanya”.
Meidy menyebut, Indonesia terus membuka peluang untuk memasok nikel untuk seluruh dunia, tidak hanya Cina. “Jadi jangan pernah mengatakan bahwa Indonesia dikuasai oleh Cina,” katanya.
Sebelumnya, BHP mengumumkan akan menghentikan produksi mulai Oktober 2024 hingga Februari 2027. Presiden Direktur BHP Geraldine Slattery mengatakan bahwa keputusan ini didasari oleh kondisi kelebihan pasokan global yang membuat harga nikel anjlok.
“Seperti perusahaan lain di sektor nikel Australia, kami belum mampu mengatasi tantangan ekonomi substansial yang didorong oleh kelebihan pasokan nikel global,” kata Slattery seperti dikutip dari mining.com, pada Jumat (12/7).
Nikel merupakan mineral penting yang digunakan dalam baterai kendaraan listrik, tetapi membanjirnya nikel murah dari Indonesia telah menekan harga dan meningkatkan tekanan pada operator berbiaya tinggi di Australia.
Harga nikel global rata-rata lebih dari US$ 25.000 per ton dalam 18 bulan sejak awal 2022 dan sekarang berada pada US$ 16.725 per ton. Hal ini membuat biaya operasional menjadi tidak ekonomi.
Pada tahun keuangan hingga 30 Juni 2024, BHP melaporkan kerugian sekitar A$ 450 juta atau sekitar Rp 4,9 triliun di divisi nikelnya.
Perusahaan yang juga menambang bijih besi, batu bara, tembaga, dan nikel ini akan menangguhkan operasi penambangan dan pemrosesan di kilang nikel Kwinana, peleburan nikel Kalgoorlie, dan operasi Mt Keith dan Leinster serta menangguhkan pengembangan proyek West Musgrave.