Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) berencana membentuk Indonesia Metal Exchange untuk komoditas nikel. Rencana ini ditargetkan dapat terealisasi pada 2025.
Sekretaris Umum APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan hal ini bertujuan agar harga nikel dalam negeri dikontrol oleh Indonesia mengingat potensi sumber daya nikel yang sangat besar di Tanah Air.
“Karena sumber dayanya di Indonesia, masa pakai exchange negara lain? Baik itu London, Singapura, atau Shanghai. Indonesia harus punya sendiri agar setidaknya kontrol harga itu ada di kita, jangan berbasis negara lain,” kata Meidy saat ditemui di Jakarta dikutip Selasa (30/7).
Selain kontrol harga, Meidy mengatakan pembentukan Metal Exchange ini juga ditujukan agar terwujudnya pengelolaan nikel yang lebih transparan.
Sebab menurutnya dalam Indonesia Metal Exchange nanti rencananya akan dibuat suatu sistem pengecekan yang dapat mengetahui setiap produsen, pembeli, kelengkapan administrasi, peraturan, pembayaran pajak dan royalti. “Indonesia Metal Exchange bukan hanya nickel nantinya, tapi semua mineral,” ujarnya.
Mengenai rencana ini, Meidy mengatakan pelaksanaannya tergantung pada pemerintahan baru pimpinan Prabowo-Gibran. Meski masih menunggu kepastian nasib, namun dia menyebut rencana ini mendapat sambutan baik dari pemerintah saat ini.
“Sambutannya positif dan kami saat ini mulai menyusun konsep-konsepnya seperti apa, kami juga sedang berdiskusi dengan Bappebti dan beberapa metal exchange negara lain dan commodity agency di dunia,” ucapnya.
Pengelolaan Nikel
Pada pekan lalu, pemerintah resmi memperluas layanan Sistem Informasi Mineral dan Batubara (SIMBARA) untuk komoditas timah dan nikel. Hal ini diyakini dapat meningkatkan tata kelola kedua mineral tersebut yang akan berdampak positif terhadap penerimaan negara.
Indonesia merupakan produsen nikel terbesar di dunia, dan salah satu produsen timah terbesar dunia. SIMBARA pertama kali diterapkan pada komoditas batu bara pada 2022. Dengan SIMBARA, pemerintah akan dapat melacak nikel dan timah dari tambang hingga ke smelter.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut B Pandjaitan memproyeksikan nilai royalti tambahan akibat masuknya nikel dan timah ke Simbara mencapai Rp 10 triliun per tahun. Karena itu, digitalisasi menjadi kunci dari penertiban proses usaha di dalam negeri.
Di samping itu, Luhut mengatakan Simbara akan membuat proses bisnis industri nikel dan timah lebih hijau. Sebab, seluruh syarat usaha tidak dapat dilompati lantaran semua dokumen akan dimasukkan ke dalam satu sistem.