ESDM Revisi Sejumlah Kebijakan agar Iklim Investasi Hulu Migas Tetap Menarik
Kementerian ESDM tengah mengkaji revisi sejumlah kebijakan untuk membuat investasi hulu migas tetap menarik bagi para kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) untuk beroperasi di Indonesia.
“Karena negara-negara lain ternyata juga mempunyai skema kebijakan yang lebih agresif, sehingga banyak KKKSS yang lari ke tempat lain. Seperti Guyana, Mozambique, dan Meksiko,” kata Menteri ESDM Arifin Tasrif di kantor Direktorat Jenderal (Ditjen) Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM pada Jumat (2/8).
Arifin mengatakan negara-negara tersebut menerapkan skema pengembangan yang sangat sederhana, hanya memungut pajak dan royalti saja. “Tidak ada pungutan lainya, maka dari itu kami berusaha untuk bisa mengimbangi,” ujarnya.
Dia menyampaikan, hal ini bisa saja dilaksanakan saat Indonesia memiliki undang-undang Migas yang seharusnya segera diterbitkan.
“Waktunya sudah mepet karena kita punya target net zero emission 2060. Kita juga perlu mempercepat akselerasi transisi energi, namun disaat yang bersamaan ada gap demand dan produksi migas dalam negeri yang semakin lebar sehingga berdampak terhadap devisa negara,” ucapnya.
Guna mempertahankan investasi hulu migas yang menarik, Arifin menyebut Kementerian ESDM memberi tiga dukungan kebijakan. Pertama, melalui revisi PP 27 Tahun 2017 dan PP 53 Tahun 2017 terkait perpajakan hulu migas.
“Kebijakan ada indirect tax, PPN, PBB, bea masuk, itu tahap eksploitasi masih dikenakan,” kata Arifin yang berharap revisi kedua regulasi ini dapat diselesaikan dalam waktu dekat. “PP 53 sepertinya sudah selesai”.
Kedua, melalui Peraturan Menteri ESDM tentang new gross split. Dalam versi baru ini, dia menyebut ada penyesuaian untuk pajak-pajak yang dianggap terlalu membebani.
“Supaya tidak menumpuk. Kami juga menyederhanakan komponen tambahan split supaya bisa lebih implementatif, dari yang awalnya 13 kami ubah menjadi 5 komponen saja,” ujar Arifin.
Selain penyederhanaan komponen, ada juga tambahan split bagi kontraktor lebih menarik, bisa mencapai 95%, termasuk untuk migas non konvensional (MNK).
“Ini sudah mendapat persetujuan dari Bapak Presiden. Jadi untuk yang daerah produksi-produksi yang sangat marginal, mereka bisa mendapatkan split yang lebih besar,” kata Arifin.
Terlebih menurutnya, MNK ini merupakan proyek yang menguras banyak pengeluaran disertai risiko yang tinggi. Sehingga untuk mendorong percepatan produksi MNK, maka dipermudah untuk menggunakan skema gross split.
“Karena kalau cost recovery kan masih ada prosedur mechanism, administrasi, approval, dan lain sebagainya. Ini memang membutuhkan waktu yang cukup lama,” ujarnya.
Ketiga, dukungan kebijakan melalui PBB tubuh bumi. Arifin menyebut Kementerian ESDM akan mengupayakan agar dalam tahap eksploitasi tetap menarik untuk investasi.
“Ini masih PBB Tubuh Bumi yang dikenakan formulasinya terhadap lifting. Jadi mestinya hanya dikenakan pada lifting bagian KKKS saja. Tapi aturan saat ini dikenakan juga, jadi dua kali,” ucapnya.