Konsultan energi internasional, Rystad Energy, menilai industri hulu migas membutuhkan dukungan pemerintah untuk bisa memonetisasi potensi sumber daya gas bumi jumbo seperti temuan Geng North dan di Blok South Andaman.
“Kondisinya adalah, peluang ada dengan potensi sangat besar, tetapi bagaimana proyek ini bisa berjalan sehingga dapat meyakinkan investor global. Itu yang harus menjadi prioritas saat ini,” kata Country Head Indonesia Rystad Energy Sofwan Hadi dalam siaran pers, dikutip Rabu (21/8).
Salah satu dukungan utama yang mendesak untuk dilakukan adalah menciptakan kebijakan fiskal yang tepat, termasuk insentif dan tax regime yang bisa memastikan keekonomian proyek migas ke depan.
Selain itu perlu keleluasaan bagi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) terkait pilihan production sharing contract (PSC) gross split atau kembali ke cost recovery.
“Ini bisa menjadi pilihan yang bagus untuk KKKS karena karakteristik setiap wilayah kerja berbeda dan membutuhkan PSC yang berbeda. Selain itu, insentif berdasarkan waktu juga bisa mendorong percepatan monetisasi proyek,” ujar Sofwan.
Sofwan menyebut, temuan sumber daya gas bumi di South Andaman dan Geng North menunjukkan bahwa Indonesia memiliki hampir separuh dari cadangan gas bumi di Asia Tenggara.
Penemuan ini meningkatkan minat investor global untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu tujuan investasi.
Oleh sebab itu, Sofwan mengatakan dukungan berbagai pihak terhadap potensi sumber daya ini bersifat mendesak agar Indonesia tidak kehilangan momentum dalam mencapai ketahanan energi nasional.
Selain tiga hal di atas, industri hulu migas juga membutuhkan dukungan lain berupa penetapan harga gas domestik dan infrastruktur untuk memastikan distribusi gas.
“Jika harga gas domestik tidak bisa menutup transport cost, maka yang terjadi akan mempengaruhi minat investor untuk mengembangkan proyek-proyek tersebut,” ucap Sofwan.
Sebelumnya, Kementerian ESDM mengatakan tengah mengkaji revisi sejumlah kebijakan untuk membuat investasi hulu migas tetap menarik bagi para KKKS untuk beroperasi di Indonesia.
“Karena negara-negara lain ternyata juga mempunyai skema kebijakan yang lebih agresif, sehingga banyak KKKSS yang lari ke tempat lain. Seperti Guyana, Mozambique, dan Meksiko,” kata Menteri ESDM Arifin Tasrif di kantor Direktorat Jenderal (Ditjen) Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM pada Jumat (2/8).
Arifin mengatakan negara-negara tersebut menerapkan skema pengembangan yang sangat sederhana, hanya memungut pajak dan royalti saja. “Tidak ada pungutan lainya, maka dari itu kami berusaha untuk bisa mengimbangi,” ujarnya.
Dia menyampaikan, hal ini bisa saja dilaksanakan saat Indonesia memiliki undang-undang Migas yang seharusnya segera diterbitkan.
“Waktunya sudah mepet karena kita punya target net zero emission 2060. Kita juga perlu mempercepat akselerasi transisi energi, namun disaat yang bersamaan ada gap demand dan produksi migas dalam negeri yang semakin lebar sehingga berdampak terhadap devisa negara,” ucapnya.
Guna mempertahankan investasi hulu migas yang menarik, Arifin menyebut Kementerian ESDM memberi tiga dukungan kebijakan. Pertama, melalui revisi PP 27 Tahun 2017 dan PP 53 Tahun 2017 terkait perpajakan hulu migas.
Kedua, melalui Peraturan Menteri ESDM tentang new gross split. Dalam versi baru ini, dia menyebut ada penyesuaian untuk pajak-pajak yang dianggap terlalu membebani.
“Supaya tidak menumpuk. Kami juga menyederhanakan komponen tambahan split supaya bisa lebih implementatif, dari yang awalnya 13 kami ubah menjadi 5 komponen saja,” ujar Arifin.
Ketiga, dukungan kebijakan melalui PBB tubuh bumi. Arifin menyebut Kementerian ESDM akan mengupayakan agar dalam tahap eksploitasi tetap menarik untuk investasi.
“Ini masih PBB Tubuh Bumi yang dikenakan formulasinya terhadap lifting. Jadi mestinya hanya dikenakan pada lifting bagian KKKS saja. Tapi aturan saat ini dikenakan juga, jadi dua kali,” ucapnya.