Cadangan Nikel Terbatas, Kementerian ESDM Gencar Eksplorasi Potensi Tambang Baru

ANTARA FOTO/REUTERS/Yusuf Ahmad
Seorang pekerja memperlihatkan bijih nikel di smelter feronikel yang dimiliki oleh perusahaan tambang negara Aneka Tambang Tbk di distrik Pomala, Indonesia, 30 Maret 2011.
10/10/2024, 04.25 WIB

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) gencar mengeksplorasi potensi baru untuk menambah cadangan nikel. Pasalnya cadangan nikel terbatas, meskipun saat ini Indonesia merupakan negara produsen terbesar di dunia.

Koordinator Pengembangan Investasi dan Kerja Sama Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Dedi Supriyanto, mengatakan permintaan nikel semakin meningkat sering dengan berkembangnya industri kendaraan listrik. Namun demikian, industri nikel saat ini menghadapi tantangan untuk mengelola cadangan sehingga lebih berkelanjutan.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, Dedi mengatakan, Kementerian ESDM melakukan mitigasi ketahanan cadangan nikel di Indonesia.

“Pertama dihitung dari kebutuhan industri dan ketersediaan cadangannya, sehingga kita eksplorasi lagi potensi baru untuk menambah komposisi cadangan ini,” ujarnya dalam agenda Konferensi Nasional Mineral Kritis, di Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (9/10).

Selain eksplorasi cadangan baru, Dedi mengatakan, Kementerian ESDM juga memastikan industri nikel menerapkan implementasi praktik penambangan yang baik atau good mining practice. Sementara tata kelola sesuai dengan prinsip ESG ( Environmental, Social, and Governance), yang bisa memperpanjang cadangan nikel, saat ini masih bersifat sukarela. Namun prinsip ESG tersebut kerap diminta oleh konsumen nikel yang berasal dari industri raksasa global.

Dedi mengatakan, nikel saat ini banyak digunakan untuk industri baterai yang mendukung transisi energi. Oleh sebab itu, Kementerian ESDM mendorong industri nikel untuk menekan emisi dalam proses produksinya.

Dia mengatakan, nikel Indonesia memiliki keunggulan dibandingkan negara produsen lain seperti Kanada dan Australia. Nikel Indonesia memiliki kandungan laterit sehingga relatif mudah dalam penambangannya. 

Hal itu berbeda dengan Australia dan Kanada yang cadangan nikelnya berupa sulfida yang sulit ditambang. Selain itu, upah tenaga kerja di dua negara tersebut jauh lebih tinggi dari Indonesia. Akibatnya, biaya produksi nikel di dua negara tersebut jauh lebih tinggi dari Indonesia.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia Cerah, Agung Budiono, mengataan  Indonesia perlu berhati-hati akan potensi oversupply nikel di masa mendatang. Pasalnya saat ini, pasokan nikel dunia hanya lebih tinggi 4% dari permintaannya. Di sisi lain, sejumlah negara maju kini tengah mengembangkan teknologi daur ulang nickel.

“Jadi kebayang dong, bisa jadi beberapa tahun ke depan nikel kita over supply,” ujarnya.