Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) tengah menelusuri dugaan kerja paksa di smelter nikel di kawasan industri Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Difasilitasi oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO), Kemnaker telah mengumpulkan serikat pekerja kawasan industri tersebut untuk mengumpulkan bukti-bukti kondisi tenaga kerja di kawasan tersebut.
Tudingan kerja paksa berasal dari Departemen Ketenagakerjaan Amerika Serikat (AS) atau US Department of Labour (US DOL) yang mengatakan terjadi kerja paksa yang dialami oleh warga negara asing (WNA) asal Cina. DOL mengelompokkan Nikel Indonesia dalam daftar barang yang diproduksi melalui kerja paksa. Data tersebut berasal dari penelusuran Organisasi Non Pemerintah (NGO) Child Labour.
Laporan tersebut menyebutkan bahwa warga negara asing asal Cina direkrut untuk bekerja di Indonesia. Namun, saat tiba di Indonesia, pekerja justru mendapatkan upah yang lebih rendah dari yang dijanjikan dengan jam kerja yang lebih panjang hingga mendapatkan kekerasan secara verbal dan fisik sebagai hukuman.
Direktur Bina Pemeriksaan Norma Ketenagakerjaan Kemnaker, Yuli Adiratna, mengatakan Kemnaker perlu melakukan pendalaman karena informasi dari Child Labour itu sangat kini. "Kemarin kita kumpulkan bukti-bukti dugaan tersebut benar gak?" ujarnya di sela acara Konferensi Nasional Mineral Kritis, di Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (9/10).
Dia berharap serikat-serikat pekerja maupun masyarakat dapat melapor apabila menemui kasus kerja paksa maupun kekerasan yang dialami pekerja di perusahaan-perusahaan tambang nikel. Selain itu, para pekerja dan masyarakat juga diharapkan dapat memberitahukan nama atau identitas perusahaan yang melakukan praktik kerja paksa.
Yuli mengatakan, perusahaan nikel bisa mendapatkan sanksi jika isu kerja paksan tersebut terbukti. Namun demikian, dia mengatakan, wewenang tersebut tidak berada di Kementerian Ketenagakerjaan.
Meski begitu, Yuli mengatakan, yang lebih penting dibahas saat ini adalah bagaimana praktik kerja paksa tak akan terjadi di Indonesia, baik di industri nikel maupun hasil tambang lainnya. Dengan keuntungan besar yang dapat dihasilkan industri nikel, pemerintah juga harus menjaga agar operasional industri dapat berjalan dengan mematuhi hak-hak asasi manusia.
"Jangan sampai terjadi kecelakaan, juga pelanggaran hak asasi manusia seperti kerja paksa, penggunaan pekerjaan anak, diskriminasi. Jangan sampai terjadi. Ini menjadi PR kita bersama," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia memastikan tidak ada indikasi kerja paksa di industri nikel Indonesia.
"Nggak ada dong Saya kan mantan menteri investasi, mana ada sih kerja paksa," ujar Bahlil saat diminta tanggapan terkait tuduhan praktik kerja paksa di industri nikel pada Senin malam (7/10), seperti dikutip dari Antara.
Ia menegaskan bahwa isu kerja paksa di sektor nikel Indonesia tidak pernah terjadi dan tidak berdasar Menurutnya, pemberitaan tentang hal tersebut perlu didasarkan pada fakta, bukan persepsi negatif yang dapat merugikan citra Indonesia di mata dunia.
Bahlil mengajak media untuk lebih mengutamakan rasa nasionalisme dan kebanggaan terhadap pencapaian bangsa, khususnya dalam sektor hilirisasi nikel yang telah memberikan kontribusi besar. Ia meminta agar berita-berita yang muncul tidak sekadar mengikuti narasi asing. "Jangan persepsi yang negatif bangsa kita, diberitakan," kata Bahlil.