Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia berencana membuat fasilitas penyimpanan cadangan minyak di sebuah pulau yang dekat dengan Singapura. Fasilitas itu nantinya akan menampung berbagai jenis minyak dan Pertamina dapat membelinya dengan harga murah.
“Kemampuan penyimpannya sekitar 30-40 hari,” kata Bahlil di Jakarta, Rabu (11/12), dikutip dari Antara.
Ia juga menyebut fasilitas penyimpanan minyak menjadi penting untuk ditingkatkan. “Jadi negara kita kalau mau perang, kapasitas cadangan minyaknya hanya 21 hari,” katanya.
Pembangunan storage tersebut sejalan dengan target Presiden Prabowo Subianto untuk membuat Indonesia mencapai kedaulatan energi. Selama ini 60% impor bahan bakar minyak (BBM) untuk kebutuhan Indonesia berasal dari Singapura.
Bahlil mengaku bingung dengan kondisi itu karena Negeri Singa tidak memiliki sumber minyak. “Singapura tidak punya minyak tapi bisa impor ke Indonesia 60%. Saya enggak ngerti teorinya dari mana,” ucapnya.
Ia sebelumnya sempat mengatakan akan menekan biaya impor energi sebesar Rp 500 triliun per tahun. Salah satu caranya dengan mengoptimalkan sumur-sumur minyak yang ada. Sumur yang menganggur atau idle harus diaktifkan kembali.
Kementerian ESDM mencatat terdapat sekitar 44.900 sumur minyak di Indonesia, sebanyak 16.600 dalam kondisi idle. Pemerintah meyakini dapat mengaktifkan kembali 5 ribu sumur untuk meningkatkan produksi minyak nasional.
Sejak Kapan Indonesia Impor BBM?
Merujuk pada data Badan Pusat Statistik, pada 1996 Indonesia sudah mengimpor BBM. Angka impornya mencapai 10,13 juta ton, sedangkan ekspornya 10,7 juta ton. Setahun kemudian angka impor menjadi lebih tinggi dibandingkan ekspor. Kondisi itu terus terjadi hingga 2023, dengan realisasi impor mencapai 24,7 juta ton dan ekspornya 2,2 juta ton.
BPS juga menunjukkan Singapura sebagai negara pengimpor hasil minyak paling besar untuk Tanah Air. Di posisi berikutnya ada Malaysia, Arab Saudi dan Amerika Serikat.
Kondisi serupa juga terjadi pada minyak mentah. Impornya dalam beberapa tahun terakhir terus meningkat. Hal ini terjadi karena sejak 2004, Indonesia telah menjadi negara pengimpor minyak neto alias net oil importer.
Pembelian dari negeri tetangga terpaksa dilakukan karena Indonesia tidak mampu memenuhi konsumsi minyak domestik yang terus meningkat. Produksi minyak mentah nasional cenderung anjlok karena minimnya penemuan baru.
Kebutuhannya mencapai 1,4 juta barel per hari. Produksinya, menurut data Kementerian ESDM, malah terus turun. Pada 2020 mencapai 708 ribu barel per hari (mbopd), 2021 anjlok menjadi 659 mbopd, dan 2022 turun ke 612 mbopd. Tahun lalu realisasinya turun lagi menjadi 606 mbopd dan pada pertengahan 2024 di angka 578 mbopd.
Impor dari Singapura dilakukan karena, selain lokasi yang dekat, kapasitas kilangnya jauh lebih besar daripada Indonesia. Negara tetangga itu, merujuk data Administrasi Perdagangan Internasional (ITA), memiliki kilang pengolahan berkapasitas 1,5 juta barel per hari.
Tanpa sumber daya alam, negara itu mampu memanfaatkan wilayahnya yang strategis dan menjadi salah satu pusat penyulingan minyak terbesar di dunia. Fasilitas kilang minyak di Singapura dioperasikan oleh raksasa industri migas, seperti ExxonMobil dan Shell.
Pulau Jurong menjadi kawasan energi Singapura. Minyak mentah impor, yang sebagian berasal dari Indonesia, diproses di sana, lalu diekspor ke Asia. Keberhasilan ini yang membuat negara berpenduduk 5,7 juta jiwa itu sebagai salah satu pusat rantai pasokan energi global.
Bandingkan dengan Indonesia yang memiliki kapasitas kilang sekitar 1 juta barel per hari dengan jumlah penduduk lebih 280 juta jiwa. Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung pada 12 Desember lalu sempat mengatakan konsumsi minyak nasional pada 2023 mencapai 518 juta barel. Produksi dalam negeri hanya 221 juta barel dan sisanya impor.
Kondisi ini menyebabkan beban untuk neraca perdagangan nasional. Indonesia tercatat tidak pernah mengalami surplus perdagangan dengan Singapura sejak 2000. Data BPS menunjukkan nilai impornya selalu meningkat dari tahun ke tahun.