IBC: Cina Makin Agresif Investasi Baterai EV ke RI Usai Trump Naikan Tarif Impor

Direktur Utama PT Indonesia Battery Corporation (IBC) Toto Nugroho menilai keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump menerapkan tarif impor tambahan terhadap barang dari Cina bisa berdampak pada Indonesia, khususnya dalam investasi baterai kendaraan listrik (EV).
"Cina menjadi sangat agresif untuk bisa masuk ke Indonesia. Mereka ingin menjadikan Indonesia sebagai basis solusi baterai EV atau baterai energy storage untuk pasar global, termasuk Amerika Serikat," ujar Toto dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XII DPR pada Senin (17/2).
Sebelumnya, Trump memulai perang dagang dengan Meksiko, Kanada, dan Cina, dengan alasan menekan imigrasi ilegal serta perdagangan narkoba. Ia meminta masyarakat Amerika Serikat untuk menerima dampak kebijakan tersebut, yang bisa menyebabkan kenaikan harga barang impor.
Kanada dan Meksiko menanggapi kebijakan ini dengan bekerja sama menghadapi bea masuk sebesar 25% atas impor ke AS. Mereka juga mengancam akan melakukan tindakan balasan.
Sementara itu, Cina menyatakan akan membawa permasalahan tarif impor AS sebesar 10% ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan mempertimbangkan langkah-langkah pembalasan.
Menurut Toto, kebijakan ini memberikan peluang bagi Indonesia untuk mengembangkan industri baterai EV secara lebih luas.
"Jika Indonesia menjadi basis produksi baterai, maka kita tidak hanya memenuhi kebutuhan domestik, tetapi juga dapat memasok pasar global, termasuk Amerika Serikat," katanya.
Meski demikian, kebijakan tarif AS ini menuai kritik. Para ekonom menilai bahwa langkah Trump dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi global dan merugikan masyarakat Amerika sendiri.
Namun, Trump tetap mempertahankan keputusannya dan membela kebijakan tersebut melalui akun media sosialnya pada Minggu (3/2).
"Ini akan menjadi zaman keemasan Amerika! Akankah ada rasa sakit? Ya, mungkin dan mungkin tidak," tulis Trump dikutip dari Reuters, Senin (3/2).
Trump juga menyoroti defisit perdagangan AS dengan Kanada, Meksiko, dan Cina, yang menurutnya mencapai US$ 36 triliun. Meski angka tersebut diperdebatkan, kebijakan tarif tetap menjadi langkah utama pemerintahannya dalam menekan defisit dan memperkuat ekonomi domestik AS.