Setahun Prabowo-Gibran: Arah Sektor Energi Terbentuk, Eksekusi Masih Terjal
Genap setahun sudah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka berjalan. Dalam waktu singkat, sederet kebijakan strategis telah dirilis, termasuk di sektor energi.
Meski arah kebijakan dinilai sudah lebih terintegrasi, tantangan besar masih menanti, terutama dalam pembiayaan dan kesiapan eksekusi di lapangan.
Pakar Ekonomi Energi Universitas Padjadjaran, Yayan Satyaki mengatakan pemerintahan Prabowo-Gibran memiliki sejumlah target besar yang tercantum dalam Astacita, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Peluncuran Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), dan lainnya. Dalam setahun terakhir, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sudah tergolong cukup.
“Artinya antara perencanaan energi yang diinginkan sudah bisa saling dukung dan terintegrasi. Walaupun memang banyak hal yang masih perlu dibenahi, tetapi minimal ketika kebijakan itu akan dilakukan, sudah ada landasan hukum dan kebijakan,” kata Yayan saat dihubungi Katadata, Senin (20/10).
Menurutnya hal ini memudahkan dan memberikan kepastian hukum baik kepada investor ataupun untuk pengambil kebijakan teknis, seperti Kementerian, Pemerintah Daerah. Sebab, arah dan rambu kebijakan itu sudah jelas dan searah.
Masih Sebatas Inisiasi
Kendati demikian, Yayan menyebut target-target sektor energi di pemerintahan prabowo masih sebatas inisiasi dan eksekusinya masih tergolong sulit. Pasalnya, ada rekonsiliasi kebijakan dan masalah manajemen pembiayaan, baik yang berasal dari APBN maupun non APBN.
“Selain itu juga secara global, negara-negara maju yang sudah berkomitmen sebelumnya untuk membiayai proyek sektor energi seperti JETP dan lainnya mengalami kesulitan karena mereka juga sedang terkena perlambatan ekonomi, imbas kebijakan Presiden Trump yakni tarif resiprokal,” ujarnya.
Dia mengatakan kondisi ini otomatis berefek pada pembiayaan proyek domestik dan kinerja ekonomi dalam negeri.
Selain masalah pembiayaan, masalah kebijakan di sektor energi juga acap kali terburu-buru diputuskan. Dia menyontohkan salah satunya terkait dengan liquified petroleum gas (LPG) subsidi 3 kg.
Awal tahun ini pemerintah sempat mengeluarkan regulasi yang melarang penjualan LPG melalui pengecer, hal ini menyebabkan masyarakat kesulitan untuk mendapatkan barang subsidi tersebut.
Dia juga menyoroti terkait penerapan etanol dalam BBM serta masalah importasi. Menurutnya, ketiga hal tersebut menandakan bahwa sebelum mengambil keputusan, pemerintah perlu fokus dalam proses perencanaan.
“Ketika ingin melakukan rencana dan implementasi dengan baik, maka harus didukung dengan data yang sangat kuat,” katanya.
Fokus Biodiesel
Yayan menyebut ada hal yang perlu difokuskan pada sektor energi di tahun kedua, yakni berkaitan dengan kebijakan biodiesel. Pemerintah berencana untuk menerapkan pencampuran 50% biodiesel dan BBM atau B50 tahun depan.
Biodiesel merupakan salah satu strategi pemerintah untuk mengurangi impor BBM. Seperti yang diketahui, Indonesia saat ini masih mengimpor minyak bumi, produk BBM, hingga LPG untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, sebab produksi domestik belum bisa mencukupi.
Menurutnya, rencana ini harus segera dieksekusi jika melihat volatilitas harga minyak dunia saat ini yang tidak menentu. Ditambah ruang fiskal Indonesia yang semakin terbatas.
“Perlu reformulasi kebijakan subsidi seperti LPG dan BBM Pertalite, agar bisa meningkatkan ruang fiskal dan menarik investasi energi terbarukan yang lain,” kata Yayan.
Dia menyebut jika reformasi ini bisa dilakukan, maka ruang fiskal yang berkurang dari impor BBM bisa digunakan untuk pembiayaan implementasi biodiesel. Jika hanya mengandalkan dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, menurutnya tidak cukup, sehingga diperlukan adanya subsidi swap (pertukaran).
“Jadi subsidi yang sebelumnya untuk energi fosil itu dialihkan ke EBT. Tapi jika harga BBM masih disubsidi pemerintah, maka agak repot pengembangannya. Perlu adanya inisiasi konkret dari pemerintah untuk segera mereformasi subsidi,” ujar Yayan.
Di saat yang sama, menurutnya penerapan bahan bakar nabati secara masif atau kadarnya ditingkatkan pun belum mumpuni. Sebab ekosistemnya belum siap, belum lagi masalah lahan pengembangannya.
Yayan juga menyarankan pemerintah juga perlu membuka ruang investasi bagi sumber EBT lainnya, seperti panas bumi.
“Mungkin harus diberikan alternatif dan diberikan peningkatan iklim investasinya. Agar masyarakat mampu menerima bahwa sumber EBT itu untuk kita semua, karena kita tidak mungkin terus bergantung pada energi fosil,” ucapnya.