Pembangunan Infrastruktur Kilang & Tangki BBM Pertamina, Pakar Sebut Tekan Impor
Langkah PT Pertamina (Persero) membangun infrastruktur Kilang Refinery Development Master Plan (RDMP) di Balikpapan, Tangki di Lawe-lawe, dan Fuel Terminal di Labuan Bajo serta Baubau, dinilai positif untuk memperluas jangkauan distribusi dan mengurangi impor minyak.
“Ini langkah baik untuk mengurangi impor dan mengatasi kelangkaan BBM,” kata Fahmy Radhi, pengamat ekonomi energi dari Universitas Gajah Mada (UGM) kepada Katadata, Rabu (19/11/2025).
Pertama, Kilang RDMP di Balikpapan merupakan perluasan kilang pengolah minyak mentah. “Dengan adanya perluasan, ini bisa kurangi impor minyak,” ujar Fahmy.
Senada, Fabby Tumiwa, CEO Institute for Essential Services Reform (IESR), menilai pembangun kilang-kilang baru BBM itu memang dibutuhkan.
“Ini akan meningkatkan jaminan ketersediaan pasokan BBM dan memperlancar distribusi BBM di wilayah Indonesia timur,” ujarnya.
Kedua, pembangunan depo di Labuan Bajo. Fahmy menyebut ini bisa memperlancar distribusi BBM di berbagai daerah, terutama wilayah pedalaman Papua.
Fahmy menyatakan penambahan terminal distribusi ini penting karena Indonesia punya tantangan berupa wilayah luas dan kondisi geografi yang bergunung-gunung. Penambahan depo membuat jaringan distribusi makin kuat.
“Pertamina benar-benar menjaga distribusi agar tidak terjadi kelangkaan,” ujar Fahmy.
Pri Agung Rakhmanto, Founder & Advisor ReforMiner Institute, menilai infrastruktur-infrastruktur baru ini juga bisa menyiasati masalah harga minyak saat ada kebutuhan impor.
“Ya betul, bagus… Memang itu (infrastruktur) perlu untuk ditambah. Misalnya, kapasitas infrastruktur supaya penyimpanan yang cukup itu bisa berfungsi sebagai buffer; kita tidak harus impor ketika harga tinggi, tetapi akan memberi waktu untuk bisa mengatur jadwal impor dengan lebih baik,” kata Agung, Rabu (19/11/2025).
Masih Tergantung BBM
Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, menilai pengamanan distribusi dan pengurangan impor BBM ini penting lantaran energi fosil ini masih dominan dalam bauran energi di Indonesia.
”Pada 2024, porsi BBM ke-bauran energinya masih 99.89 pesen. Itu artinya, yang non-BBM (kendaraan listrik) masih kecil banget – enggak ada 1% karena 99,98% kendaraan di Indonesia masih menggunakan BBM,” kata dia.
Menurutnya, BBM amat vital tak hanya untuk sektor transportasi. Pertama, penyediaan energi listrik, termasuk yang digunakan oleh para pelaku dunia usaha.
Kedua, pengiriman barang/jasa ke berbagai wilayah, termasuk lewat jalur darat. Ketiga, BBM diperlukan untuk menunjang aktivitas sosial masyarakat.
Berkaca pada vitalnya peran tersebut, Komaidi mengatakan penting bagi Pertamina untuk mencegah kelangkaan BBM.
Ketahanan Energi
Pada 2 Oktober 2025, PT Pertamina Patra Niaga meresmikan Fuel Terminal Labuan Bajo di Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Depo di Labuan Bajo ini diharapkan memperkuat ketahanan energi nasional sekaligus mendukung sektor pariwisata Labuan Bajo sebagai salah satu Destinasi Wisata Super Prioritas (DPSP).
Fuel Terminal Labuan Bajo tersebut memiliki kapasitas 488 Kiloliter (KL) dengan 8 tangki untuk produk Pertamax dan Pertamina Dex untuk melayani kebutuhan 4 SPBU dan 1 SPDN untuk Nelayan di sekitar wilayah Labuan Bajo.
Mars Ega Legowo Putra, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, menjelaskan pasokan BBM di Labuan Bajo sebelumnya bergantung pada Fuel Terminal Reo. Dengan depo terbaru, distribusi jadi jauh lebih efisien dan lebih cepat.
Sementara itu, proyek RDMP di Balikpapan diproyeksi beroperasi mulai 17 November 2025.
Direktur Utama KPI Taufik Adityawarman mengungkapkan progres pembangunan fisik kilang telah mencapai 96,97%. Sejak 17 September 2025, fasilitas Saturated LPG Treater juga sudah mulai memproduksi LPG.
Selain membangun kilang RDMP dan sejumlah depo, Pertamina juga berkomitmen dalam kemudahan akses dan keterjangkauan harga BBM, terutama di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) Indonesia melalui program BBM Satu Harga.
Program BBM Satu Harga ini telah dilaksanakan oleh Pertamina sejak 2017 hingga 2024 dengan membangun 573 penyalur BBM Satu Harga yang tersebar di seluruh Indonesia.
Sebagai contoh, di Kecamatan Terentang, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, warga dapat membeli Pertalite seharga Rp10.000 per liter dan Solar Rp6.800 per liter. Sebelum program BBM Satu Harga, masing-masing harganya Rp16.000 untuk Pertalite dan Rp11.000 untuk Solar.
Dengan BBM Satu Harga ini, berarti masyarakat di daerah terpencil tidak lagi harus membeli bahan bakar dengan harga berlipat ganda dari harga resmi.
Sedangkan untuk perluasan akses LPG, Pertamina mengandalkan program One Village One Outlet (OVOO). Hingga saat ini, sudah ada 270.656 pangkalan LPG 3 kg di 29 provinsi.
Area Manager Communication, Relations & CSR Pertamina Patra Niaga Regional Sumbagsel, Rusminto Wahyudi, menambahkan bahwa program ini bukan sekadar menyalurkan BBM, tetapi juga menghadirkan keadilan.