Presiden Joko Widodo mengeluhkan besarnya impor besi dan baja ke Indonesia. Hal ini menjadi salah satu sumber defisit neraca perdagangan serta menggerus transaksi berjalan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor besi dan baja sepanjang 2019 mencapai US$ 10,39 miliar atau sekitar Rp 753 triliun. Realisasi impor baja meningkat 1,42% dibanding tahun sebelumnya US$ 10,25 miliar.
“Data yang saya miliki, impor baja sudah masuk ke peringkat tiga besar impor negara kita,” ujar Jokowi saat membuka rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (12/2).
(Baca: Impor Buah Melonjak, Defisit Neraca Dagang dengan Tiongkok Makin Dalam)
Selain menyebabkan defisit dagang dan transaksi berjalan, impor baja juga menyebabkan utilitas pabrik di dalam negeri menjadi sangat rendah.
Kepala Negara menilai hal tersebut tak bisa dibiarkan terus-menerus. Oleha karena itu, dia menilai perlu sejumlah upaya guna mendorong industri baja dan besi di dalam negeri semakin kompetitif.
Alhasil, produksi industri baja dan besi tersebut diharapkan bisa semakin optimal. "Misalnya dengan perbaikan manajemen korporasi, pembaharuan teknologi permesinan, terutama di bumn industri baja terus dilakukan,” kata dia.
Meski demikian, hal tersebut tak cukup. Sebab berdasarkan laporan yang ia terima, industri baja dan besi dalam negeri masih terkendala oleh pasokan bahan baku.
(Baca: Perekonomian Lesu, Produksi Baja Dunia Anjlok 2,8% )
Oleh karenanya, dia menginstruksikan perbaikan ekosistem untuk meningkatkan ketersediaan bahan baku industri baja dan besi dalam negeri. “Mulai dari ketersediaan dan kestabilan harga bahan baku sampai pada komponen harga gas yang juga perlu dilihat secara detail,” kata dia.
Jokowi sebelumnya menargetkan harga gas untuk industri dalam negeri bisa mencapai US$ 6 per per Million British Thermal Unit (MMBTU), sebagaimana Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016. Namun hingga saat ini, harga tersebut belum juga diterapkan. Padahal, gas merupakan salah satu komponen produksi penting dalam industri baja agar bisa bersaing dengan produk impor.
Kemudian, presiden juga meminta agar hasil tambang dalam negeri diprioritaskan untuk industri lokal, sehingga, ketergantungan bahan baku impor dapat ditekan. Di sisi lain, industri lokal bisa memperoleh manfaat serta nilai tambah apabila prioritas bahan baku dari hasil tambang dialokasikan ke industri dalam negeri.
“Selain itu juga bisa membuka lapangan kerja,” katanya.
Selanjutnya, Presiden pun meminta para menteri dan jajarannya mengkaji secara cermat beberapa regulasi yang mengatur soal impor, seperti penerapan SNI untuk besi dan baja untuk menghalau masuknya produk baja impor berkualitas rendah ke pasar.
“Jangan pemberian SNI dilakukan secara serampangan, sehingga tidak dapat membendung impor baja,” ucapnya.
(Baca: Pemerintah Ungkap 2 Alasan Baja Impor Lebih Dipilih Dibanding Lokal)
Defisit neraca perdagangan pada sepanjang 2019 mencapai US$ 3,2 miliar. Meski masih defisit, torehan tahun lalu masih lebih baik dibanding 2018 yang mengalami defisit US$ 8,7 miliar.
Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan, neraca perdagangan pada Desember masih defisit sekitar US$ 300 juta. Hal ini seiring dengan impor yang mencapai US$ 14,5 miliar, sedangkan ekspor sebesar US$ 14,47 miliar.
"Desember kita defisit sekitar US$ 28,2 juta sehingga sepanjang 2019 kita defisit US$ 3,2 miliar," ujar Suhariyanto dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (15/1).
Impor besi dan baja menjadi salah satu pemicu melebarnya defisit neraca perdagangan Indonesia. Adapun kontribusi baja terhadap defisit perdagangan pada tahun sebelumnya digambarkan lebih lanjut dalam databoks berikut.