Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga mengatkan, pembahasan fasilitas insentif bea masuk Amerika Serikat (AS) Generalized System of Preferences (GSP) untuk produk Indonesia diperkirakan baru rampung awal tahun depan. Target tersebut mundur dari yang semula diperkirakan selesai Desember 2019.
“Dalam waktu dekat 1-3 bulan akan ada konklusi yang baik. Jadi kami harapkan secepatnya, kalau bisa awal tahun,” kata Jerry di Hotel Millenium, Jakarta, Kamis (19/12).
Menurutnya, isu yang masih dalam pembahasan ialah terkait lokalisasi data. Perwakilan Perdagangan AS (US Trade Representative) sebelumnya telah meminta data pribadi nasabah tidak harus ditempatkan di Indonesia.
(Baca: Demi Tingkatkan Ekspor ke AS, RI Kebut Persyaratan Tarif Khusus GSP)
Terkait permintan tersebut, Jerry menyatakan penempatan data di luar Indonesia tidak mempengaruhi keamanan data. Sebaliknya, jaminan keamanan data perlu dipastikan kepada pihak yang menyimpan data.
Dia mencontohkan, perbankan memiliki tanggung jawab untuk menjaga keamanan data. “Mereka ada laws, responsibility, serta diberikan kepercayaan untuk menyimpan data pribadi milik customer,” ujar dia.
Data menurutnya merupakan bagian dari kedaualatan negara. Keamanan data juga telah diatur dalam Undang Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Oleh karena itu, kesepakatan mengenai lokalisasi data hingga kini masih dalam tahap pembicaraan dengan perwakilan Negeri Paman Sam. Jika pembicaraan telah rampung, ia memperkirakan negosiasi terkait evaluasi GSP akan segera selesai.
Sebab, sebagian besar poin persyaratan yang diminta AS sudah selesai dibahas. Sebelumnya ada 11 poin yang dipersyaratkan AS sebelum memberikan kembali fasilitas GSP ke Indonesia. Tiga di antaranya dibahas cukup alot, yakni mengenai licensing atau hak paten, lokalisasi data perusahaan AS di Indonesia, dan reasuransi.
(Baca: Barter dengan 2 Kebijakan, RI Segera Kantongi Insentif Ekspor dari AS)
Direktur Perundingan Bilateral, Kementerian Perdagangan Ni Made Ayu menjelaskan bahwa terdapat 3.572 jenis produk yang mendapat fasilitas insentif GSP dari AS. Kendati demikian, dari jumlah tersebut Indonesia baru memanfaatkan tarif khusus untuk 836 jenis produk.
Padahal, AS hanya memberikan tarif khusus GSP terhadap 5.062 produk di seluruh dunia, sehingga Indonesia mendapatkan kuota terbesar. "Kita lakukan lobi lagi agar (jumlahnya) tetap karena negara lain ada yang dicabut," kata dia.
Ayu mengungkapkan bahwa dengan skema GSP yang diberikan AS, eksportir dapat menghemat biaya sekitar US$ 80 juta atau setara Rp 1,1 triliun dalam bentuk bea masuk. "Kita ekspor lebih murah mereka impor juga lebih murah ini yang disampaikan betuk kerja sama strategis," kata dia.