Presiden RI Joko Widodo meneken moratorium izin perkebunan sawit pada 19 September 2018 yang berlaku selama tiga tahun. Moratorium itu tertuang dalam Inpres Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit.
Inpres moratorium tersebut ditujukan kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Dalam Negeri, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), serta Gubernur dan Bupati/Walikota.
Tak dapat dimungkiri bahwa tata kelola kebun sawit Indonesia masih jauh dari baik. Mulai dari kebun sawit berada dalam kawasan hutan lindung, pembukaan lahan di dalam kawasan high conservation value seperti kubah gambut, hingga regulasi yang tumpang tindih. Pada 2016 saja, luas lahan dengan izin tumpang tindih ada sekitar 3 juta hektare yang membuat satu lahan yang sama bisa dimiliki lebih dari satu perusahaan.
Penyebab tumpang tindih izin lahan kebun kelapa sawit adalah tidak adanya mekanisme verifikasi lahan. Selain itu, tidak ada satu peta yang menjadi pegangan dalam pemberian izin, serta nir-koordinasi antara pemerintah daerah dengan kementerian/lembaga dalam proses penerbitan dan pengendalian izin. Masalah-masalah tersebut menjadi prioritas untuk diperbaiki lewat moratorium sawit.
Untuk memperbaiki tata kelola perkebunan sawit, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberi rekomendasi untuk menyusun sistem pengendalian perizinan usaha perkebunan. Caranya dengan sinkronisasi seluruh penggunaan lahan perkebunan dan izin usaha perkebunan. Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian RI sudah menginisiasi sistem perizinan perkebunan (Siperibun), tetapi belum semua data izin kebun dan luas kawasan terekonsiliasi di Ditjen Bea Cukai.
“Sebenarnya ini bagian pencegahan yang paling penting untuk dilakukan karena bisa menyelamatkan keuangan negara. Jauh lebih besar daripada kita tangkapin orang,” ujar Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif kepada tim Katadata di Gedung KPK di Jakarta, pada 11 September 2019.
KPK juga meminta revisi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 98/2013 yang mengatur perizinan usaha perkebunan menjadi Peraturan Pemerintah dengan memasukkan ketentuan penataan perizinan berdasarkan tata ruang, lingkungan hidup, dan penguasaan lahan.
Pasalnya urusan kebun sawit melibatkan banyak kementerian sehingga harus diatur oleh peraturan yang lebih tinggi. Contohnya, untuk urusan batas wilayah dan izin perkebunan diurus Kementerian Pertanian (Kementan), alih lahan dan alih kawasan diurus Kementerian Kehutanan, sedangkan hak guna usahanya menjadi urusan Kementerian Agraria.
Terbatas pada Sinkronisasi Data
Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan Muhammad Teguh Surya mengemukakan bahwa dalam masa setahun ini sejumlah pemerintah daerah bersemangat melaksanakan inpres, seperti Provinsi Papua Barat, Provinsi Aceh, Kabupaten Sanggau, dan Kabupaten Siak. Di Siak bahkan sudah dibentuk tim kerja pemberantasan sawit ilegal.
“Tapi sayangnya di daerah-daerah ini seolah-olah tidak mendapat perhatian atau petunjuk lebih dalam dari tim kerja nasional. Seperti berjalan sendiri,” ujar Teguh kepada tim Katadata di Kantor Sekretariat Madani Berkelanjutan di Jakarta Selatan, Selasa, 10 September 2019.
Justru pelaksanaan moratorium sawit di tingkat nasional, menurut Teguh, berjalan lambat. Tidak semua pejabat terkait yang menerima instruksi itu memahami dan menjalankan instruksi presiden sepenuhnya. Walau moratorium sawit sudah berjalan satu tahun, perkembangan di lapangan terbatas pada sinkronisasi dan kelengkapan data, dalam arti hanya memastikan berapa sebenarnya tutupan sawit di Indonesia. Belum terdengar kabar dari pemerintah bagaimana kemajuan upaya penyelesaian tumpang tindih izin dan fungsi lahan. Belum lagi jika bicara soal peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit.
Penyebabnya secara umum, lanjut Teguh, adalah akibat masalah komunikasi yang kurang lancar antara pejabat di tingkat nasional, pemprov, dan pemkab. Karena tidak diterjemahkan dengan tepat, kebijakan dari pusat kerap menyimpang di daerah.
Menurut data KLHK (2017) luas kawasan hutan adalah 120 juta hektare. Sebagian besarnya atau 68,8 juta hektare adalah Hutan Produksi yang boleh dieksploitasi dan seluas 12,8 juta hektare adalah Hutan Produksi Konversi yang dialokasikan untuk kebutuhan sektor lain, dalam hal ini adalah sektor perkebunan, melalui pelepasan kawasan hutan. Sektor perkebunan yang paling sering mengajukan permohonan kawasan yang siap dilepaskan di antaranya perkebunan coklat, karet, dan kelapa sawit.
Hutan yang dapat dikonversi seluas 12,8 juta hektare itu sekarang sedang dalam proses untuk mengalokasikan ruang, belum dilepaskan. Hal itu dikemukakan oleh Kasubdit Perubahan Peruntukan Fungsi Kawasan Hutan KLHK Sigit Nugroho kepada Katadata pada 13 September 2019.
Ditambah, penemuan analisis Madani Berkelanjutan tahun 2019, berupa 1 juta hektare kebun sawit milik 724 perusahaan berada di dalam hutan primer dan lahan gambut yang tersebar di 24 provinsi. Sebagian besar kebun sawit itu sudah beroperasi dan sebagian sudah mendapatkan izin tapi belum melakukan pembukaan hutan.
Fokus pada Perbaikan
Empat tahun sebelum Inpres 8/2018 diteken, yakni sejak 2014, PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (SMART Tbk) sudah tidak lagi membuka lahan untuk perkebunan kelapa sawit karena ingin fokus pada perbaikan kebun yang telah dikelola. Hal itu dilakukan agar dapat memenuhi syarat mendapat sertifikasi bahwa produk SMART Tbk bersahabat dengan lingkungan.
Direktur Sinar Mas Agus Purwanto yang dijumpai Katadata di Jakarta, 29 Agustus 2019, menjelaskan, perbaikan yang dimaksud antara lain menggenjot produktivitas, melakukan mekanisasi, penerapan teknologi (internet of things), serta menggunakan aplikasi untuk data-data pemanenan.
SMART Tbk memiliki total areal tanam di Indonesia 498.395 hektare, termasuk kebun milik petani swadaya. Luas perkebunan kelapa sawitnya di Indonesia 138.700 hektare, termasuk lahan milik petani plasma.
Jumlah kebun yang dikelola adalah 180 kebun tersebar di 12 provinsi, sebagian besar berada di Kalimantan dan Sumatera, termasuk di Papua yang sudah dimiliki sejak 30-an tahun lalu dan sudah replanting. Lebih dari separuh luas kebun tersebut adalah kawasan yang harus dikonservasi.
Moratorium yang sedang berlaku sekarang, menurut Agus, sangat membantu dunia persawitan agar sama-sama menuju arah perkebunan kelapa sawit yang keberlanjutan, sebab susah jika diserahkan sepenuhnya kepada pelaku pasar.