Lawan Diskriminasi Sawit Eropa, Pengamat Usulkan B30 hingga Retaliasi
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, Indonesia memiliki tantangan jika bergantung pada ekspor komoditas primer seperti sawit. Salah satu hambatannya yakni isu diskriminasi minyak sawit dibandingkan minyak nabati lain yang dilakukan Uni Eropa.
Namun demikian, pemerintah tidak boleh menggantungkan nasib produk sawit pada pasar luar negeri. Karena itu perlu inovasi dan teknologi produk yang lebih banyak agar bisa diterima pasar atau terserap di dalam negeri.
"Kalau pasar ekspor sedang batuk-batuk, penyerapan pasar lokal bisa ditingkatkan dengan B20, B30, minyak goreng bagi produk domestik misalnya," kata Bhima, di Jakarta (28/11).
(Baca: Jokowi Tak Tinggal Diam Terhadap Diskriminasi Sawit oleh Uni Eropa)
Hal lain yang juga bisa dilakukan, misalnya dengan memasukkan kelapa sawit dalam perundingan perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif antara Indonesia dan Uni Eropa (Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement/IEU-CEPA) demi kepentingan nasional.
Sehingga, kerja sama tersebut bisa menghasilkan kesepakatan yang saling menguntungan antara kedua pihak. "Jangan mentang-mentang produk eropa kena bea masuk 0%, tapi hambatan dagangnya dikurangi. Sementara sawit kita yang masuk ke Eropa dihalangi, ini tidak fair," ujar Bhima.
Langkah terakhir yang menurutnya bisa dilakukan untuk mengatasi masalah diskriminasi sawit dengan retaliasi dagang atau pembalasan dengan mengalihkan impor produk-produk dari negara yang mendukung produk sawit.
"Misalnya, dengan mengalihkan pembelian komponen pesawat yang diimpor Eropa bisa ke Amerika, Rusia atau Tiongkok yang welcome dengan produk sawit kita," ujarnya.
Diskriminasi terhadap minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) Indonesia oleh Uni Eropa bahkan telah membuat Presiden Joko Widodo atau Jokowi geram.
Jokowi menyatakan tak akan tinggal diam atas tindakan negara-negara Eropa tersebut. Menurutnya, diskriminasi terjadi melalui berbagai aturan Uni Eropa yang menyulitkan masuknya salah satu komoditas utama Indonesia tersebut.
"Diskriminasi terhadap CPO Indonesia juga dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di Eropa," kata Jokowi saat bertemu dengan delegasi Dewan Bisnis Uni Eropa-Asean di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (28/11).
(Baca: Menko Ekonomi Sebut Penerapan B30 Bisa Hemat Devisa US$ 8 Miliar)
Kepala Negara mengatakan Indonesia bersama dengan para produsen CPO telah berupaya memberikan berbagai data dan penjelasan kepada Uni Eropa. Hanya saja, Uni Eropa bergeming atas upaya Indonesia tersebut.
Dia mengaku bakal membawa masalah ini ke perundingan IEU-CEPA. Saat ini, baik Indonesia maupun Uni Eropa telah membentuk kelompok kerja untuk membahas masalah CPO. "Saya berharap kelompok kerja itu dapat berkontribusi terhadap penyelesaian masalah CPO," kata Jokowi.
Jokowi sebelumnya meminta CPO lebih banyak diolah untuk kepentingan dalam negeri. Hal tersebut dinilai lebih baik dibandingkan mengekspor ke Uni Eropa. “Kenapa harus bertarung dengan Uni Eropa saat CPO kita di-banned, didiskriminasi? Kita pakai sendiri saja,” kata Jokowi dalam acara Kompas CEO 100 Forum 2019 di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Kamis (28/11).
Hingga saat ini, minyak kelapa sawit masih menjadi salah satu komoditas andalan Indonesia dan penyumbang devisa terbesar. Kontribusi devisa minyak sawit tak kalah dari batu bara yang mencapai US$ 18,9 miliar atau setara Rp 265 triliun pada 2018, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS).
Berdasarkan data yang Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), produksi minyak sawit Indonesia per September 2019 (year to date) mencapai 36 juta ton atau naik 13% dibandingkan produksi pada periode yang sama 2018.
Dari total produksi tersebut, yang terserap di pasar ekspor mencapai 26 juta ton. Volume ekspor tersebut naik 13% dibandingkan ekspor Agustus 2019 dan naik 4% dibandingkan ekspor pada periode yang sama tahun 2018.