Meski Permendag Tekstil Sudah Direvisi, Celah Impor Masih Terbuka

Katadata | Arief Kamaludin
Pengusaha mengeluhkan soal impor tekstil dan produk tekstil yang membanjiri pasar dalam negeri.
Penulis: Rizky Alika
Editor: Ekarina
30/10/2019, 18.49 WIB

Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 64 Tahun 2017 tentang impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) menjadi Permendag Nomor 77 Tahun 2019. Meski demikian, sejumlah kalangan dan pengamat menilai masih ada celah impor terbuka dari aturan tersebut. 

Ketua Umum Ikatan Ahli Tekstil (Ikatsi) Suharno Rusdi mengatakan, revisi Permendag 77/2019 masih dapat memfasilitasi impor tekstil serta belum cukup mendukung industri di dalam negeri.

"Ini tidak sejalan dengan semangat substitusi impor. Bisa ada permainan di lapangan dan masih fasilitasi impor TPT," kata dia di Jakarta, Rabu (30/11).

Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti pun mengungkapkan, aturan tersebut belum bisa menjamin bahwa impor produk TPT melalui Pusat Logistik Berikat (PLB) berkurang. Sebab, revisi Permendag masih memperbolehkan impor melalui PLB, kendati saat ini perlu Persetujuan Impor (PI) TPT.

"Importir nakal masih bisa melakukan pelanggaran dalam PLB menggunakan Persetujuan Impor TPT," ujar dia.

(Baca: Revisi Aturan untuk Perketat Impor Tekstil Ditargetkan Rampung Besok)

Selain itu, Pengusaha Dalam PLB (PDPLB) masih belum diawasi dengan ketat untuk tidak memperjualbelikan barang langsung ke pasar lokal. Juga dengan kuota impor TPT belum diatur agar menjadi lebih transparan. "Jadi harus ada kebijakan transparansi kuota impor. Kalau tidak, bisa saling iri," ujarnya.

Sebagai informasi, pemerintah telah mencantumkan beberapa perubahan baru pada Permendag 77/2019. Pertama, adanya lampiran A dan lampiran B yang dihapuskan. Jika sebelumnya Perizinan Impor hanya berlaku bagi kelompok dalam lampiran B, saat ini setiap importir memerlukan Perizinan Impor TPT dari menteri.

Pasal 4 menjelaskan bagi pemegang Angka Pengenal Importir Produsen (API-P) dapat impor sebagai bahan baku, sementara NIB yang berlaku sebagai Angka Pengenal Importir Produsen Umum (API-U) dapat impor sebagai IKM.

Untuk API-P, importir dapat impor langsung dari negara asal atau PLB. Sementara, API-U hanya dapat impor melalui PLB.

Kemudian pada tambahan Pasal 7A, API-P yang mengimpor TPT dapat melakukan kerja sama produksi dengan perusahaan API-P lainnya yang tidak mampu memenuhi kapasitas produksi perusahaan dalam waktu tertentu.

(Baca: Kemendag Cabut Izin Satu Importir Tekstil Nakal)

Selanjutnya, Kementerian Perdagangan menambah Pasal 8A yang menjelaskan lembaga Online Single Submission (OSS) dapat memproses penerbitan izin usaha.

Permendag baru tersebut juga menjelaskan importir wajib menyampaikan laporan distribusi TPT yang telah diimpor sesuai dengan kontrak pemesanan kebutuhan TPT dengan IKM. Hal ini tertuang dalam Pasal 15 ayat (b).

Dalam aturan ini, API-P dan API-U dapat dibekukan perizinan impornya secara elektronik bila tidak memenuhi kewajiban yang telah ditentukan. Ini dipaparkan dalam Pasal 17 ayat (1).

Pada Pasal 23, pengecualian verifikasi terhadap 23 pos tarif dan terhadap Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) dihapuskan.

Impor TPT masih membanjiri pasar dalam negeri. Tiongkok menjadi eksportir tekstil dan produk tekstil (TPT) terbesar ke Indonesia, seperti yang tergambar dalam grafik databoks berikut. 

Pada 2018, volume impor TPT asal Tiongkok mencapai 4.392 ton, turun 27,18% dibandingkan dengan 2017 yang mencapai 6.031 ton.  Padahal, impor TPT dari Tiongkok pada 2017 sempat melonjak hingga 123,29% dibandingkan 2016 yang sebesar 2.701 ton.

Reporter: Rizky Alika