Uni Eropa menyebut Indonesia dapat melanggar ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) bila menaikkan bea masuk produk susu dan turunannya (dairy products) sebagai balasan terhadap tindak diskriminasi sawit. Aksi pembalasan (retaliasi) dinilai bertentangan dengan regulasi WTO.
"WTO tidak mengizinkan dan benar-benar melarang pembalasan, dalam hal ini (pengenaan tarif) produk susu," kata Head of the Economic and Trade Section Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam, Raffaele Quartodi Hotel Pullman, Jakarta, Kamis (9/5).
Tindakan tersebut juga menurutnya tidak bisa diterima dalam hubungan antar negara maupun negosiasi perdagangan bebas. Di sisi lain, retaliasi juga dapat merugikan ekonomi Indonesia, terutama bagi industri yang menggunakan produk susu dan turunannya.
(Baca: Larangan Edar Produk Bebas Sawit Berpotensi Picu Sengketa di WTO)
Raffaele menyatakan, WTO memperbolehkan suatu negara melakukan investigasi. Sebagaimana yang dilakukan oleh Uni Eropa dalam menginvestigasi pemberian subsidi produk biodiesel Indonesia.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita akan mengusulkan pengenaan tarif produk olahan susu Uni Eropa sebesar 20-25% untuk merespons tindakan Uni Eropa. Ini dilakukan lantaran Uni Eropa menjegal produk biodiesel Indonesia dengan pengenaan tarif bea masuk anti-subsidi sebesar 8-18%.
"Kami segera kirim tim tarif, tapi lihat perkembangannya dulu. Saya bilang, 20-25% (tarifnya)," kata dia. (Lihat grafik impor susu dan olahannya pada Databoks berikut ini)
(Baca: Pemerintah Segera Kirim Nota Keberatan Biodiesel Dikenai Sanksi)
Tak hanya itu, Enggar juga meminta importir produk susu olahan untuk mencari pemasok selain Eropa. Misalnya, Australia, India, New Zealand, atau Amerika Serikat.
Menurutnya, pengenaan tarif tidak akan langsung dilakukan dalam waktu dekat agar tidak menimbulkan kekagetan bagi importir. Namun, rencana tersebut telah dibicarakan kepada para importir agar mereka bisa melakukan persiapan.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, total impor susu dan telur Indonesia pada 2018 mencapai US$ 1 miliar.