Pemerintah menargetkan perjanjian dagang kemitraan komprehensif (CEPA) dengan Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa (EFTA) rampung pada semester I 2020. Direktur Perundingan Bilateral Kementerian Perdagangan Ni Made Ayu Marthini mengatakan saat ini, proses perjanjian tengah memasuki tahap ratifikasi oleh kedua negara.
"Sekarang sedang proses ratifikasi kedua belah pihak. EFTA juga punya prosedur (ratifikasi) yang sama. Targetnya paruh pertama tahun depan selesai," kata Made di kantornya, Jakarta, Senin (5/8).
Ratifikasi merupakan tahap akhir sebelum sebuah perjanjian diimplementasikan. Di Indonesia, proses tersebut dilakukan dengan melibatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk kemudian disesuaikan dengan aturan di dalam negeri.
(Baca: Kerja Sama Dagang, Kemendag: Impor Ikan Chili akan Melonjak Drastis)
Kerja sama tersebut menyepakati penghapusan bea masuk produk Indonesia ke negara EFTA yang terdiri dari Swiss, Liechtenstein, Norwegia, dan Islandia.
Beberapa produk Indonesia yang mendapatkan tarif preferensi ke negara anggota EFTA di antaranya adalah minyak kelapa sawit, ikan, emas, alas kaki, kopi, mainan, tekstil, furnitur, peralatan listrik, mesin, sepeda, dan ban.
Perjanjian Indonesia-EFTA CEPA tak hanya mencakup isu-isu perdagangan barang dan jasa, tetapi juga terkait investasi, hak kekayaan intelektual, pembangunan berkelanjutan, ketentuan asal dan bea cukai, fasilitasi perdagangan, pengamanan perdagangan, persaingan usaha, legal, serta kerja sama dan pembangunan kapasitas.
Indonesia juga mendapatkan akses tenaga kerja kepada EFTA untuk semakin terbuka. Perundingan ini juga membuahkan kesepakatan lain seperti kerja sama dan pengembangan kapasitas di bidang promosi ekspor, pariwisata, UMKM, HKI, kakao dan kelapa sawit, pendidikan vokasional, industri maritim, dan perikanan.
Perjanjian Perdagangan Lain
Made juga menyebutkan ada perjanjian perdagangan lain yang akan diproses atau ditargetkan diimplementasikan tahun depan. Seperti kerja sama Indonesia-Australia atau IA-CEPA yang juga sedang dalam tahap penyelesaian ratifikasi.
"Australia mengatakan tahun ini bisa (diimplementasikan). Sementara Indonesia sedang memproses dinamika perjanjian ini," ujarnya.
IA-CEPA resmi diteken Menteri Perdagangan RI Enggartiasto Lukita dan Menteri Perdagangan, Pariwisata, dan Investasi Australia Simon Birmingham Maret lalu. Lewat kerja sama tersebut, Indonesia mendapatkan fasilitas bea masuk 0% untuk seluruh pos tarif yakni sebanyak 6.474 pos tarif. Sementara itu, Indonesia mengeliminasi 94% pos tarif, sekitar 10.252 pos tarif bagi Australia.
Selain mempercepat impelemtasi perjanjian dagang, Made juga menyatakan pihaknya tengah mengejar penyelesaian perjanjian dagang lain seperti Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP).
(Baca: Chili Punya Perjanjian Dagang Bebas Terluas, Peluang bagi Indonesia)
Kemudian ada juga perjanjian Preferential Trade Agreement (PTA) dengan Mozambik yang akan segera ditandatangani. Pembahasan PTA tersebut telah memasuki tahapan legal scrub atau pencocokan hukum oleh kedua negara.
Made menuturkan, perjanjian dagang dengan Mozambik akan menjadi perjanjian pertama di benua Afrika. "Afrika ada 54 negara. Jadi ini suatu permulaan," ujarnya.
Selain itu, ada pula PTA dengan Tunisia yang sudah memasuki putaran kedua, Maroko, dan Turki. Adapun, pembahasan PTA dengan Turki ditargetkan selesai pada tahun depan.
(Baca: Perjanjian Dagang Baru RI-Chili Dapat Naikkan Ekspor Rp 1,48 Triliun)
Beranjak ke kawasan Asia, pihaknya juga sedang menyiapkan perjanjian dagang dengan Jepang, Korea Selatan, Bangladesh, Iran, dan Pakistan. Sementara khusus untuk Pakistan, kerja sama tersebut akan berupa perdagangan barang (Trade in Goods).
"Jadi seluruh pos tarif akan dinegosiasikan dengan Pakistan," ujarnya.
Di luar negara tersebut, Indonesia juga tengah melirik kerja sama dengan Uni Eropa, Rusia, wilayah Afrika dan Timur Tengah. Pemerintah juga berminat untuk bekerja sama dengan East African Community (EAC).