Pengusaha Keluhkan Bisnis Manufaktur Melambat Akibat Permintaan Lemah

Katadata
Ilustrasi. Wakil Ketua Apindo Shinta Widjaja Kamdani menilai perlambatan pertumbuhan industri manufaktur saat ini disebabkan oleh permintaan yang melemah.
Penulis: Rizky Alika
Editor: Sorta Tobing
3/8/2019, 12.05 WIB

Wakil Ketua Apindo Shinta Widjaja Kamdani menilai perlambatan pertumbuhan industri manufaktur saat ini disebabkan oleh permintaan yang melemah. Hal ini seiring dengan adanya perlambatan ekonomi negara mitra utama Indonesia, yaitu Tiongkok.

"Perang dagang memicu perlambatan ekonomi di Tiongkok. Karena itu demand dari Tiongkok berkurang cukup signifikan," kata dia kepada Katadata.co.id, Jumat (2/8).

Hal ini juga berdampak pada pelebaran defisit neraca dagang antara Tiongkok dan Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), defisit neraca dagang dengan Tiongkok pada semester I-2019 mencapai US$ 9,2 miliar. Defisit tersebut melebar 12,19% dibandingkan  periode yang sama tahun lalu.

Selain itu, faktor eksternal lainnya juga turut mempengaruhi perlambatan manufaktur. Kebijakan ekonomi AS, Uni Eropa, dan Inggris dinilai tidak baik bagi iklim investasi di negara berkembang. Terlebih, Amerika Serikat (AS) mengkaji Generalized System of Preferences (GSP) terhadap Indonesia.

(Baca: BPS: Pertumbuhan Industri Manufaktur Pada Triwulan II-2019 Melambat)

Lalu, di Uni Eropa ada kebijakan biodiesel kelapa sawit sehingga dapat menekan ekspor sebesar 30% ke Benua Biru tersebut. "Keduanya menyebabkan mood yang tidak positif bagi permintaan atas produk ekspor Indonesia," ujarnya.

Di sisi internal, Shinta menilai tidak ada terobosan kinerja oleh pelaku usaha. Sebab, pengusaha memilih wait and see lantaran masih menjaga stabilitas nasional setelah Pemilu. Akibatnya, tidak banyak yang memicu produktifitas sektor industri.

Halaman: