Diminta Balas Uni Eropa Soal Sawit, Menko Darmin: Itu Langkah Susulan

ANTARA FOTO/AKBAR NUGROHO GUMAY
Menko Perekonomian Darmin Nasution (kanan) memberikan keterangan disaksikan Wakil Menteri Luar Negeri AM Fachir (tengah) dan Menko Kemaritiman Luhut Pandjaitan (kiri) dalam konferensi pers mengenai diskriminasi Uni Eropa terhadap kelapa sawit di Jakarta, Rabu (20/3/2019).
1/8/2019, 16.19 WIB

Pelaku usaha mendorong pemerintah untuk melakukan aksi balasan (retaliasi) terhadap Uni Eropa atas pengenaan bea masuk anti subsidi untuk biodiesel Indonesia. Namun, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, retaliasi belum saatnya dilakukan.

"Retaliasi mestinya susulan setelah kita masuk ke Dispute and Settlement di WTO, tidak bisa (langsung sekarang)," kata Darmin di Jakarta, Kamis (1/8).

Ia menyatakan pemerintah akan membuktikan di sidang World Trade Organization (WTO) bahwa tuduhan Uni Eropa soal subsidi untuk biodiesel tidak tepat. “Itu tidak bisa dibilang subsidi sawit,” ujarnya.

(Baca: Pengusaha Usulkan Retaliasi Produk Pertanian Eropa dengan Tarif Tinggi)

Uni Eropa menuding pemerintah Indonesia memberikan fasilitas subsidi yang melanggar ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), untuk perusahaan biodiesel.

Terdapat sembilan program dan kebijakan yang dianggap Uni Eropa sebagai subsidi yang menguntungkan biodiesel Indonesia. Program atau kebijakan yang dimaksud dari mulai dana bantuan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) hingga fasilitas kredit dan jaminan dari Bank Ekspor Impor.

(Baca: Uni Eropa Diskriminatif, Pemerintah Cari Pasar Ekspor Sawit ke Afrika)

Atas dasar itu, Uni Eropa mengenakan tarif bea masuk sementara untuk eksportir Indonesia dengan besaran 8-18%. PT Ciliandra Perkasa terkena tarif 8%, PT Intibenua Perkasatama dan PT Musim Mas (Musim Mas Group) 16,3%, serta PT Pelita Agung Agrindustri dan PT Permata Hijau Palm Oleo (Permata Group) 18%.

Kemudian, PT Wilmar Nabati Indonesia dan PT Wilmar Bioenergi Indonesia (Wilmar Group) sebesar 15,7%. Sedangkan perusahaan lainnya terkena bea masuk 18%. Ini berlaku mulai Agustus 2019.

Adapun Uni Eropa merupakan pasar kedua terbesar bagi sawit Indonesia, setelah India. Selama ini, sebagian besar minyak sawit Indonesia memasuki Uni Eropa dengan tarif sangat rendah. Sebanyak 22% masuk tanpa bea masuk dan 55% terkena bea masuk di bawah 5,1%.