Kementerian Perdagangan menuding Uni Eropa menggunakan strategi terstruktur, sistematis, dan masif untuk mengisolasi biodiesel Indonesia. Sebab, Uni Eropa kerap mengeluarkan kebijakan untuk menyerang biodiesel Indonesia, yang terbaru yaitu bea masuk anti-subsidi.
Direktur Pengamanan Perdagangan Pradnyawati menuding Uni Eropa tidak menginginkan produk minyak kelapa sawit Indonesia bersaing dengan minyak nabati lainnya. Harga minyak kelapa sawit memang lebih murah dibandingkan minyak kedelai dan rapeseed.
Maka itu, gempuran dilakukan dengan menerbitkan kebijakan yang dianggap legal oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). "Sudah terbaca ini grand strategy yang terstruktur, sistematis, dan masif," kata dia di kantornya, Jakarta, Jumat (26/7).
(Baca: Kena Pukulan Ganda Uni Eropa, RI Disarankan Cari Pasar Baru Biodiesel)
Selain bea masuk anti-subsidi, beberapa kebijakan dan isu yang telah digunakan Uni Eropa yaitu bea masuk anti-dumping, pelanggaran hak anak dan orang hutan, deforestasi, dan isu kesehatan. "Semua hal diangkat agar palm oil tidak membanjiri negara mereka," ujarnya.
Pada 2013, Uni Eropa pernah menerapkan kebijakan bea masuk anti-dumping terhadap biodiesel Indonesia dan Argentina. Namun, kedua negara berhasil memenangkan gugatan di Mahkamah Uni Eropa (Eropa European Court of Justice) dan WTO. Kebijakan bea masuk tersebut akhirnya dihapus.
Kemudian, pada 2017, Uni Eropa kembali mengenakan bea masuk anti-dumping pada biodiesel. Kebijakan ini kembali dibatalkan, setelah Indonesia memenangkan gugatan terakait di WTO. WTO menilai Uni Eropa menggunakan metodologi penghitungan yang salah.
Pada Desember 2018, Uni Eropa menginisiasi penyelidikan anti-subsidi pada biodiesel Indonesia. Biodiesel Indonesia disebut mendapatkan subsidi sehingga harganya rendah. Pada 23 Juli 2019, Uni Eropa mengeluarkan proposal bea masuk anti-subsidi, dengan besaran sementara di kisaran 8-18%.
(Baca: Indonesia Tolak Rencana Bea Masuk Anti-Subsidi Biodiesel Uni Eropa)
Dalam proporsal, tarif bea masuk ditetapkan berbeda untuk eksportir Indonesia. PT Ciliandra Perkasa dikenakan tarif 8%, PT Intibenua Perkasatama dan PT Musim Mas (Musim Mas Group) 16,3%, serta PT Pelita Agung Agrindustri dan PT Permata Hijau Palm Oleo (Permata Group) 18%.
Kemudian, PT Wilmar Nabati Indonesia dan PT Wilmar Bioenergi Indonesia (Wilmar Group) sebesar 15,7%. Sedangkan perusahaan lainnya dikenakan bea masuk 18%.
Saat ini, pemerintah tengah berupaya memberikan pembelaan dan melakukan pendekatan melalui jalur diplomasi, untuk menghadapi masalah yang terbaru ini. Pemerintah telah menyampaikan protes keras kepada Uni Eropa dalam beberapa kesempatan. Bahkan, sejak adanya isu penyelidikan anti-subsidi, Indonesia telah melakukan konsultasi pra-penyelidikan dengan tim Uni Eropa.