Kena Pukulan Ganda Uni Eropa, RI Disarankan Cari Pasar Baru Biodiesel

ANTARA FOTO/Akbar Tado
Pekerja memperlihatkan biji buah sawit di salah satu perkebunan sawit di Topoyo, Kabupaten Mamuju Tengah, Sulawesi barat.
26/7/2019, 13.35 WIB

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengatakan berat bagi produk minyak kelapa sawit Indonesia untuk masuk pasar Eropa. Ini seiring rencana pemberlakuan bea masuk anti-subsidi terhadap biodiesel RI dan penghapusan minyak kelapa sawit dari bahan bakar nabati Eropa. Maka itu, Indonesia perlu mencari pasar baru.

Wakil Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani mengatakan salah satu negara yang bisa disasar yaitu India. "Bagaimana kita government-to-government dengan India untuk CPO (minyak kelapa sawit mentah) agar lebih kompetitif dibandingkan Malaysia," kata dia di Kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Kamis (25/7).

Selain itu, penggunaan biodiesel 30% (B30) dapat ditingkatkan di dalam negeri. Dengan demikian, pasar biodiesel domestik dapat turut menggantikan kehilangan dari pasar Uni Eropa.

(Baca: Indonesia Tolak Rencana Bea Masuk Anti-Subsidi Biodiesel Uni Eropa)

Selama ini, Uni Eropa merupakan salah satu kawasan yang paling banyak mengimpor biodiesel dari Indonesia, meski nilainya sempat mengalami penurunan pada 2010. Ekspor biodiesel ke Uni Eropa meningkat tajam tahun lalu. Nilai ekspornya tercatat sebesar US$ 116,7 juta pada 2017, lalu menjadi US$ 532,5 juta pada 2018.

Baru-baru ini, Uni Eropa mengajukan proposal bea masuk anti-subsidi sementara dengan rentang marjin 8-18% untuk biodiesel Indonesia. Penyebabnya, Uni Eropa menilai pemerintah Indonesia memberikan fasilitas subsidi yang melanggar ketentuan WTO kepada produsen/eksportir biodiesel. Hal ini mempengaruhi harga ekspor biodiesel ke Uni Eropa.

Rencana kebijakan ini muncul setelah Uni Eropa memberlakukan aturan arahan energi terbarukan atau Renewable Energy Directive II (RED II), Mei lalu. Aturan itu menyatakan, konsumsi bahan bakar nabati berisiko tinggi di Uni Eropa akan dibatasi pada 2020-2023.

Konsumsi bahan bakar nabati berisiko tinggi tidak boleh lebih besar dari tahun ini. Kemudian, mulai 2024, konsumsinya ditargetkan turun bertahap hingga mencapai nol di 2030. Adapun CPO masuk dalam kategori minyak nabati berisiko tinggi.

Dalam keterangan resmi Maret lalu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyebut kebijakan Uni Eropa tersebut diskriminatif. Tujuannya, mengisolasi dan mengecualikan minyak kelapa sawit dari sektor biofuel Uni Eropa untuk menguntungkan minyak nabati lainnya, termasuk rapeseed yang diproduksi oleh Uni Eropa.