Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok membuka peluang pasar ekspor bagi industri tekstil tanah air. Namun, peluang tersebut belum dapat dimanfaatkan maksimal karena masih terganjal persoalan struktural.
"Industri tekstil masih payah (menangkap peluang) sebab ada masalah struktural, baik di tingkat teknis maupun perdagangannya," kata Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat kepada katadata.co.id, Senin (10/6).
(Baca: Berkah Investasi Besar di Balik Perang Dagang AS - Tiongkok)
Ade memberikan usulan kepada Menteri Perdagangan guna memperbaiki industri tekstil dengan mengharmonisasikan tarif. Ini perlu dilakukan guna menumbuhkan hubungan perdagangan tekstil mulai dari hulu hingga hilir.
Saat ini, lanjut Ade, harga industri tekstil di hulu masih mahal seperti bahan parasilin yang berasal dari minyak, gas, atau sawit. Hal ini mendorong impor pada bagian hulu dalam jumlah besar. Selain itu, ia juga mengeluhkan industri tekstil hulu masih memiliki proteksi antidumping yang turut membuat harga produksi meningkat.
(Baca: Kemenperin Proyeksi Industri Manufaktur Tumbuh Hampir 5% di Kuartal II)
Dengan adanya harmonisasi tarif, ia mengatakan defisit neraca perdagangan dapat berkurang dan menghemat devisa. "Lalu harmonisasi tarif bisa meningkatkan ekspor tekstil," katanya. Di luar itu, Ade mengatakan masih ada masalah teknis seperti alat mesin tekstil yang sudah tua serta daya saing industri yang lebih rendah dibandingkan negara lainnya.
Antisipasi Langkah AS Kaji Ulang Perdagangan
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ernovian G. Ismy mengatakan Indonesia harus mengantisipasi langkah AS dalam mengkaji ulang perjanjian perdagangan dengan sejumlah negara, seperti Australia, Timur Tengah, Korea, dan Singapura. Sebab, ekspor Indonesia dapat menurun terhadap negara tersebut, termasuk ekspor garmen.
Selain itu, AS juga akan mengkaji perjanjian dagang tekstil dan produk tekstil (TPT) dengan sejumlah negara, seperti Tiongkok dan Vietnam. "Ini perlu diwaspadai karena Tiongkok dan Vietnam merupakan tujuan ekspor TPT Indonesia," katanya.
(Baca: Antisipasi Ekonomi Global Lesu, RI Perluas Ekspor ke Amerika Selatan)
Oleh karena itu, ia menilai Indonesia harus menarik investasi asing langsung (foreign direct investment) pada sektor tekstil. Ini dapat dilakukan dengan membenahi biaya upah buruh, memperbaiki biaya operasional industri, dan mengintegrasikan industri tekstil.
Sebagai informasi, total ekspor TPT Indonesia sepanjang triwulan I 2019 mencapai US$ 3,37 miliar atau turun 3,8% dibandingkan ekspor pada triwulan I 2018 sebesar US$ 3,5 miliar. Sementara impor mencapai US$ 2,31 miliar atau turun 3,8% dibandingkan tahun lalu periode yang sama sebesar US$ 2,4 miliar.