Diskriminasi Sawit, Pemerintah Siapkan Konsultan Hukum untuk Gugat UE

ANTARA FOTO/AKBAR NUGROHO GUMAY
Menko Perekonomian Darmin Nasution (kanan) memberikan keterangan disaksikan Wakil Menteri Luar Negeri AM Fachir (tengah) dan Menko Kemaritiman Luhut Pandjaitan (kiri) dalam konferensi pers mengenai diskriminasi Uni Eropa terhadap kelapa sawit di Jakarta, Rabu (20/3/2019). Pemerintah Indonesia menyatakan akan melawan tindakan diskriminasi Uni Eropa yang akan mengklasifikasikan minyak kelapa sawit (Crude Palm Oils/CPO) sebagai komoditas yang tidak berkelanjutan dan berisiko tinggi.
Penulis: Michael Reily
19/4/2019, 03.00 WIB

Pemerintah sedang melakukan penilaian terhadap lima kantor konsultan hukum internasional sebagai persiapan menggugat Uni-Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Gugatan ini akan dilayangkan jika aturan anti-sawit Uni Eropa terbit 15 Mei 2019 mendatang.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menyatakan pemerintah dan pengusaha berkomitmen untuk membela produk ekspor andalan Indonesia ini. "Kami akan melaporkan langkah untuk gugatan ke WTO, baik pemerintah maupun swasta," kata Oke di Jakarta, Kamis (18/4).

Kendati demikian, Oke tak menyebutkan secara detail kantor konsultan hukum apa saja yang sedang dalam proses penilaian. Namun, dia mengatakan Mayer Brown LLP dan Sidley Austin LLP termasuk dalam daftar konsultan hukum yang sedang dalam penilaian pemerintah.

Oke menambahkan, setelah kantor konsultan hukum terpilih, pihaknya akan melakukan konsultasi terkait substansi apa yang bertentangan dalam artikel di WTO. "Mereka lebih tahu dalam bagian apa yang bisa kita gugat," ujarnya.

(Baca: Gabungan Pengusaha Dukung Pemerintah Lawan Diskriminasi Sawit ke WTO)

Meski gugatan pemerintah kepada Uni-Eropa bakal berjalan paralel dengan pihak swasta, tetapi tempat pengaduannya berbeda. Perusahaan swasta bakal mengajukan gugatan kepada Pengadilan Uni-Eropa, bukan kepada WTO.

Untuk mengakomodasi skema pengaduan yang melibatkan banyak kementerian dan lembaga serta perusahaan swasta, Oke mengaku bakal ada aturan dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sebagai acuan untuk koordinasi. "Kami akan rapatkan tentang task force, tetapi masih menunggu Peraturan Menteri Koordinator Perekonomian," katanya lagi.

Sebelumnya, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyatakan dukungan terhadap langkah pemerintah Indonesia dalam menangani diskrimisasi kelapa sawit Indonesia oleh Uni Eropa. Langkah pemerintah yang bakal ditempuh dengan membawa kasus ini ke sidang WTO.

Ketua Umum Gapki Joko Supriyono mengatakan, dibawanya kasus ini ke ranah WTO merupakan langkah terakahir yang akan ditempuh Indonesia untuk menyelesaikan diskriminasi sawit ini. Sebelum sampai ke sana, pemerintah tengah menganalisa opsi lain untuk melawan rencana Uni Eropa menggolongkan kelapa sawit sebagai The Delegated Act pada 2021.

(Baca: Diskriminasi Sawit, Negara Produsen Sampaikan Keberatan ke Uni Eropa)

The Delegated Act merupakan aturan yang mengklasifikasikan minyak kelapa sawit sebagai sumber energi yang tidak berkelanjutan dan termasuk dalam kategori indirect land use change (ILUC) yang berisiko tinggi.

"Usaha-usaha lain juga sedang dikaji pemerintah, termasuk kemungkinan retaliasi. Tapi perlu analisa pembahasan detail, semua usaha harus paralel dan konsisten serta harus didukung pelaku usaha," kata Joko, awal pekan ini (15/4).

Reporter: Michael Reily