Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyatakan dukungan terhadap langkah pemerintah Indonesia dalam menangani diskrimisasi kelapa sawit Indonesia oleh Uni Eropa. Langkah pemerintah yang bakal ditempuh dengan membawa kasus ini ke sidang Organisasi Perdagangan Dunia alias World Trade Organization (WTO).
Ketua Umum GAPKI Joko Supriyono mengatakan, dibawanya kasus ini ke ranah WTO merupakan langkah terakahir yang akan ditempuh Indonesia untuk menyelesaikan diskriminasi sawit ini. Sebelum sampai ke sana, pemerintah tengah menganalisa opsi lain untuk melawan rencana Uni Eropa menggolongkan kelapa sawit sebagai The Delegated Act pada 2021.
The Delegated Act merupakan aturan yang mengklasifikasikan minyak kelapa sawit sebagai sumber energi yang tidak berkelanjutan dan termasuk dalam kategori indirect land use change (ILUC) yang berisiko tinggi.
(Baca: Mentan: B100 Bisa Menjadi Jawaban Atas Hambatan Minyak Sawit)
"Usaha-usaha lain juga sedang dikaji pemerintah, termasuk kemungkinan retaliasi. Tapi perlu analisa pembahasan detail, semua usaha harus paralel dan konsisten serta harus didukung pelaku usaha," kata Joko ketika ditemui di Menara Astra, Jakarta, Senin (15/4).
Wakil Direktur Utama PT Astra Agro Lestari Tbk ini mengungkapkan, langkah perlawan yang dilakukan oleh pemerintah harus didukung oleh pelaku-pelaku usaha kelapa sawit dari dalam negeri. Namun, tidak bisa dilakukan jika hanya segelintir perusahaan saja yang ikut bergerak, semua pihak yang terdampak harus bersatu baik pemerintah, pengusaha, maupun asosiasi.
Ia menambahkan, ekspor sawit Indonesia ke Eropa berkisar antara 4,5 juta ton hingga 5 juta ton. Angka ini tergolong relatif kecil jika dibandingkan dengan ekspor sawit Indonesia di luar Eropa, yang mencapai mencapai 7 juta ton. "Yang jelas, pasar Eropa cukup besar, tapi pasar-pasar di luar Eropa juga cukup besar," kata Joko.
Meski relatif lebih kecil, namun Joko menegaskan pasar Eropa tetap harus menjadi perhatian utama. Tidak semata-mata karena besaran volume ekspornya, tapi karena dampak kebijakan yang dikeluarkan oleh Uni Eropa acap kali menjadi rujukan negara lain dalam mengambil kebijakan.
(Baca: Diskriminasi Sawit, Negara Produsen Sampaikan Keberatan ke Uni Eropa)
"Jika The Delegated Act sampai diterapkan atau tidak ada revisi, saya khawatir negara lain akan melihat dan akan makin menguatkan bahwa sawit seolah-olah tidak bagus. Belum lagi komplikasi masalah lain," ujar Joko.
Untuk mengatasi diskriminasi sawit menurutnya memang harus ditempuh dengan cara yang hati-hati, perlu adanya analisa mendalam terkait dampak lainnya, seperti misalnya ancaman balik (retalisasi) dagang dari Uni Eropa ke Indonesia. Karena, bisa berdampak kepada investasi-investasi Indonesia yang ada di Eropa maupun sebaliknya.
Aturan arahan energi terbarukan II atau Renewable Energi Directive II (RED II) di Uni Eropa akan berlaku secara otomatis pada 12 Mei 2019. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, implementasinya dapat berlaku melalui prosedur senyap. "Artinya tidak ada pembahasan lagi, tapi langsung berlaku (aturannya)," kata Darmin di kantornya, Jakarta, Jumat (12/4).
Dengan berlakunya RED II, pada 2020-2023 konsumsi bahan bakar nabati berisiko tinggi di Uni Eropa akan dibatasi. Jumlahnya tidak boleh lebih besar dari konsumsi tahun ini. Kemudian, pada 2023 angkanya akan terus turun secara bertahap hingga nol persen di 2030.
Untuk menghindari anjloknya ekspor sawit, pemerintah akan memperluas perjanjian perdagangan bebas (FTA). India, Pakistan, dan Turki menurut Darmin bisa menjadi pasar baru ekspor sawit. Ia mengungkapkan, pemerintah akan mendahulukan negara-negara yang banyak menggunakan palm oil. Negara-negara Afrika juga masuk dalam pertimbangan karena pertumbuhan ekonominya yang bergerak naik.
(Baca: Jokowi dan Mahathir Teken Surat Keberatan Diskriminasi Sawit)