Diskriminasi Sawit, Negara Produsen Sampaikan Keberatan ke Uni Eropa

ANTARA FOTO/Rahmad
Pekerja merontokkan buah kelapa sawit dari tandannya di Desa Sido Mulyo, Aceh Utara, Aceh, Kamis (26/10). Delegasi Indonesia bersama perwakilan negara-negara produsen sawit (CPOPC) kembali menyuarakan keberatan atas diskriminasi terhadap produk kelapa sawit di Uni Eropa.
Penulis: Ekarina
9/4/2019, 19.39 WIB

Delegasi Indonesia bersama perwakilan negara-negara produsen sawit (Council of Palm Oil Producing Countries/ CPOPC) kembali menyuarakan keberatan atas diskriminasi terhadap produk kelapa sawit di Uni Eropa. Kebijakan Uni Eropa dinilai tak adil, karena melarang  impor minyak kelapa sawit ke dalam sektor energi terbarukan, namun  mempromosikan minyak nabati lain yang berasal dari kawasannya.

"CPOPC menentang The Delegated Act karena mengklasifikasikan minyak kelapa sawit sebagai sumber energi yang tidak berkelanjutan dan termasuk dalam kategori indirect land use change (ILUC) yang berisiko tinggi," tulis pernyataan resmi CPOPC dikutip Selasa (9/4).

Pernyataan itu merupakan salah satu bunyi pernyataan sikap dari misi gabungan dari CPOPC pimpinan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution saat melakukan kunjungan resmi ke Brussel, Belgia, pada Senin (8/4) hingga Selasa (9/4).

(Baca: Jokowi dan Mahathir Teken Surat Keberatan Diskriminasi Sawit)

CPOPC berpendapat, Uni Eropa menggunakan The Delegated Act untuk menghapus serta memberlakukan larangan impor minyak kelapa sawit ke dalam sektor energi terbarukan yang diamanatkan. Namun di sisi lain, mereka justru  mempromosikan minyak nabati lain yang berasal dari kawsannya.

"CPOPC sudah menyuarakan keprihatinan. Bahwa asumsi-asumsi ini didasarkan pada kriteria yang tidak akurat dan diskriminatif secara ilmiah," tulis CPOPC dalam pernyataannya. 

CPOPC menilai, klaim bahwa kebijakan ini didasarkan oleh kajian ilmiah dan berbasis lingkungan dianggap mengada-ada. Sebab, Uni Eropa justru tidak melarang penggunaan kedelai yang berdasarkan penelitian internal merupakan salah satu komoditas yang bertanggung jawab terhadap deforestasi.

Untuk itu, CPOPC menduga keputusan itu dipengaruhi oleh kebijakan proteksionisme sebagai bagian dari kebijakan politik dan ekonomi Uni Eropa, bukan berdasarkan kajian ilmiah atau berbasis lingkungan semata.

Karenanya, CPOPC menyimpulkan kebijakan tersebut dianggap sebagai strategi ekonomi dan politik yang matang demi menyingkirkan minyak kelapa sawit dari pasar Uni Eropa.

(Baca: Lawan Diskriminasi Sawit Uni Eropa, Menko Perekonomian Pimpin Delegasi)

Dalam kunjungan ini, misi gabungan melaksanakan pertemuan dengan para pemimpin Uni Eropa untuk mengungkapkan keberatan atas aturan yang diskriminatif dan meminta otoritas untuk menangani tindakan yang timbul dari penerapan The Delegated Act.

Hadir dalam pertemuan itu, delegasi Indonesia ke Brussel yakni Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, Staf Khusus Kementerian Luar Negeri RI Peter F. Gontha serta Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kemenko Perekonomian Musdhalifah Mahmud.

(Baca: Di Hadapan Petani Sawit, Luhut: Siapapun yang Menghambat, Kami Lawan!)

Kemudian, Deputi Bidang Koordinasi Kerjasama Ekonomi Internasional Kemenko Perekonomian Rizal Affandi Lukman, Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan Pradnyawati, dan perwakilan-perwakilan asosiasi kelapa sawit nasional turut serta dalam misi tersebut.

Sementara dari negara produsen lain hadir pula di antaranya delegasi Malaysia dan Kolombia sebagai bagian dari wadah CPOPC yang diwakili Sekretaris Jenderal Kementerian Industri Utama Malaysia Dato Tan Yew Chong serta Duta Besar Kolombia di Brussel Felipe Garcia Echeverri.

Reporter: Antara