Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan sedang menyusun peta potensi ekspor jasa guna mendorong kesiapan sektor ini memasuki pasar internasional. Sektor jasa dinilai cukup menjanjikan untuk mendongkrak neraca perdagangan, di tengah perlambatan pertumbuhan ekspor barang dan produk industri.
Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan, Arlinda mengatakan pertumbuhan sektor jasa dalam perekonomian di Indonesia terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2018 menurutnya, sektor jasa mencapai pertumbuhan tertinggi selama tujuh tahun terakhir jika dibandingkan dengan sektor pertanian dan manufaktur.
Adapun, kontribusi sektor jasa terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional pada 2018 mencapai 54%, yang mana sekitar 47% tenaga kerja memperoleh penghidupan dari sektor ini. Nilai ini meningkat dibandingkan 2017 yang tercatat sebesar 43,6%.
(Baca: Sri Mulyani: Proyek WIKA di Aljazair Kurangi Defisit Neraca Dagang)
Dengan kontribusinya yang besar terhadap PDB, Arlinda berharap agar sektor jasa bisa berkontribusi lebih besar terhadap ekspor nonmigas. Pada 2019, ekspor nonmigas pada tahun ini ditargetkan tumbuh sebesar 7,5%.
"Sektor jasa memiliki prospek yang besar dalam mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia di beberapa tahun mendatang. Kemendag berupaya menjadikan sektor jasa sebagai andalan untuk mendongkrak neraca perdagangan nasional dan menggantikan sektor industri yang terus menurun," kata Arlinda dalam keterangan resmi di Jakarta, Kamis (28/3).
Untuk mencapai target tersebut, menyusun peta potensi ekspor jasa dan menggelar Focus Group Discussion (FGD) yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan terkait, seperti sektor industri jasa MICE (meeting, incentive, conference, and exhibition), konsultan manajemen, arsitek, dan kuliner.
Dari FGD ini berhasil diidentifikasi sektor-sektor jasa potensial yang dapat menjadi prioritas dan digarap secara serius oleh seluruh pemangku kepentingan agar dapat masuk ke pasar internasional. Sektor itu antara lain jasa pariwisata dan kuliner, jasa konstruksi, serta jasa teknologi komunikasi dan informasi (media digital, pengembang perangkat lunak, serta jaringan teknologi informasi dan komunikasi.
Selain itu, ada pula potensi ekspor jasa bisnis lainnya misalnya, jasa profesional dan konsultasi, periklanan dan kreatif digital, jasa legal, arsitek/desain interior, serta jasa keinsinyuran.
(Baca: Devisa Pariwisata Naik, Defisit Transaksi Berjalan Belum Tentu Membaik)
Untuk meningkatkan gairah bisnis pelaku usaha tersebut dalam berekspansi ke luar negeri, pemerintah bahkan menurutnya berencana memberikan fasilitas insentif. "Pemerintah akan berupaya menyiapkan insentif menarik pelaku usaha global untuk memilih di Indonesia sebagai pusat operasi jasa regional," ujar Arlinda.
Selain itu, pemerintah dipandang perlu untuk memperluas jumlah sektor jasa yang dibebaskan dari kewajiban pembayaran pajak pertambahan nilai (PPN). Saat ini, hanya tiga jenis jasa yang dikenakan PPN nol persen, yaitu jasa maklon, jasa perbaikan dan perawatan barang bergerak, serta jasa konstruksi. Sedangkan sebagian besar sektor jasa lain masih dikenakan PPN 10%. "Pengenaan PPN nol persen dapat diterapkan untuk jasa yang dikonsumsi di luar negeri," katanya.
Pemerintah juga perlu mempercepat proses pendaftaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI) guna menghindari terjadinya sengketa merek dan pihak dan meningkatkan kepercayaan calon mitra. Sementara untuk meningkatkan kegiatan promosi dengan membangun merek (branding), pemerintah akan memfasilitasi keikutsertaan pelaku usaha dalam pameran internasional atau misi dagang.
Direktur Kerja Sama Pengembangan Ekspor Marolop Nainggolan mengatakan, Kemendag berencana menyusun tiga rekomendasi pengembangan sektor jasa Indonesia.
Ketiga rekomendasi tersebut yaitu pemetaan pasar tujuan ekspor potensial sektor jasa Indonesia, intelijen bisnis dan regulasi sektor jasa untuk pasar negara tujuan ekspor, serta penyusunan katalog pada sektor jasa potensial dan pelaku usaha jasa potensial Indonesia.
Katalog dapat menjadi alat promosi sektor jasa potensial di Indonesia di pasar global. "Katalog-katalog tersebut nantinya akan disebarkan di semua kantor-kantor perwakilan perdagangan Indonesia di luar negeri," ujarnya.
Penopang Ekonomi Masa Depan
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri pun mengatakan pemerintah berpotensi besar meningkatkan kinerja di sektor ekspor jasa sebagai penopang pertumbuhan ekonomi di masa depan.
Sebab, ekspor ini dinilai paling memiliki harapan bertumbuh. Hal ini dilatari oleh peningkatan pesat sektor jasa terjadi sejak 2012. Pada 2018 sektor jasa telah memberikan sumbangan sebesar 59% terhadap produk domestik bruto (PDB). Sementara di sisi lain, peranan sektor industri manufaktur terus menyusut setiap tahun hingga hanya bekisar di bawah 20% pada 2018.
“Sektor penghasil barang seperti manufaktur, pertambangan, pertanian pertumbuhannya hanya sekitar 3%. Sementara jasa 6%. Jadi buat apa mempersoalkan penurunan ekspor, biarkan saja, ” kata Faisal di Jakarta, kemarin (27/3).
(Baca: Kerja Sama Ekonomi dengan Australia Buka Peluang Ekspor Manufaktur)
Di sisi lain, Indonesia juga mesti mewaspadai perkembangan industri manufaktur Vietnam yang sudah menjelma sebagai kekuatan Indo-China. Vietnam juga bahkan diuntungkan dengan posisinya menjadi hub bagi negara sekitarnya.
Karena itu menurutnya, pemerintah lebih baik fokus pada pengembangan sektor jasa, dibanding terus berkutat pada ekspor sektor barang yang tidak lagi menjadi kekuatan ekonomi Indonesia.
"Dari fenomoena yang tejadi, Indonesia bukan lagi negara agraris ataupun negara industri lagi tetapi sudah menjelma sebagai negara jasa seperti karakteristik yang kita jumpai di negara maju," katanya.
(Baca: Impor Anjlok, Menko Darmin: Pengaruhnya Bisa ke Sektor Manufaktur)
Tak hanya dari sisi tenaga kerja, sektor jasa bahkan juga disebut telah menyumbang devisa negara terbesar. “Tourism menyumbang US$ 14 miliar dolar dan tenaga kerja menyumbang US$ 11 miliar,” ujarnya.
Badan Pusat Statistik sebelumnya mencatat, ekspor Indonesia sepanjang Februari 2019 mencapai US$12,53 miliar. Angka ini turun 10,03% dibandingkan bulan sebelumnya. Sementara jika dibandingkan pada Febuari 2018 (year on year), nilai ekspor itu turun 11,33%.