Pemerintah membuka peluang ekspor produk lokal ke pasar nontradisional. Salah satu kawasan tujuannya, Amerika Latin. Potensi ekspor ke negara-negara di kawasan itu sangat besar karena didukung 647 juta penduduk. Selain itu, produk domestik brutonya mencapai US$ 5,3 triliun.
“Nilai transaksi dagangnya US$ 1,98 triliun. Ini kategori pasar nontradisional yang harus digarap,” kata Sekretaris Direktorat Jenderal Amerika dan Eropa Kementerian Luar Negeri Ratu Silvy Gayatri saat ditemui di Kementerian Perdagangan, Jakarta, Senin (25/3).
Saat ini Indonesia butuh perluasan pasar ekspor karena tahun lalu mengalami defisit neraca perdagangan terdalam sepanjang sejarah, sebesar US$ 8,57 miliar.
Pemerintah akan mendorong ekspor produk makanan dan minuman serta furnitur ke Amerika Latin. Silvy mengatakan, dalam waktu dekat juga akan terbentuk Indonesia-Latin America Business Counsil. “Ini forum business-to-business pada 16 Oktober nanti,” katanya.
(Baca: Pemerintah Lirik Pasar Baru untuk Ekspor Sawit )
Menurut dia, ada beberapa tantangan yang dihadapi pemerintah untuk mewujudkan hal tersebut. Pertama, mindset yang menganggap negara Amerika Latin sulit dijangkau. “Dari letak geografinya memang jauh. Tapi kan tinggal tambah dua jam saja dari Amerika Serikat,” ujar Silvy.
Lalu, ada masalah tarif bea masuk ke sana yang masih tinggi. Padahal, seharusnya bisa sampai nol persen. Namun, hal ini terhambat urusan karantina. Silvy menilai kondisi itu wajar karena pertanian di negara-negara Latin sudah maju. Pemerintah Indonesia bisa mengatasinya dengan lebih banyak menjalin kerja sama dagang.
Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan Arlinda mengatakan, pemerintah sedang menjajaki penurunan tarif bea masuk menjadi nol persen ke Amerika Latin. Salah satunya dengan pemerintah Cile.
(Baca: Cile akan Jadi Gerbang Ekspor Indonesia ke Amerika Latin)
(Baca: Ratifikasi Perjanjian Ekonomi Komprehensif Chile Diteken Pekan Depan)
Arlinda mengatakan, banyak pengusaha mengeluhkan sulit menembus pasar di negara-negara Latin karena tarifnya tinggi. “Kalau kita sudah punya perjanjian dengan mereka, pasti bisa diminimalisir,” katanya.
Pemerintah juga menyasar pasar nontradisional lainnya, seperti Timur Tengah, Afrika, Srilanka, Bangladesh, Pakistan, dan India. “Pemerintah akan buka akses pasar dan menjajaki penurunan tarif dengan negara-negara tersebut,” katanya.