PT Krakatau Steel berharap pembangunan klaster baja terintegrasi di Cilegon, Banten bisa rampung pada 2023 atau lebih cepat dari yang semula ditargetkan pada 2025. Dengan selesainya proyek tersebut, impor baja diharapkan bisa ditekan.
Klaster baja di Cilegon ditargetkan mampu memproduksi 10 juta ton baja per tahun. Pembangunan klaster ini untuk mendorong pembentukan industri baja yang terintegrasi dari hulu hingga hilir. "Saya yakin kalau regulasi baik, pasar sehat, 2023 sudah bisa terkejar," kata Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk Silmy Karim di Jakarta, Kamis (21/3).
(Baca: Sejumlah Negara Tekan Produksi Baja Habis-habisan, RI Justru Perbesar)
Klaster baja di Cilegon terdiri dari fasilitas produksi eksisting milik PT Krakatau Steel dan PT Krakatau Posco. Lalu, ditambah dengan pembangunan fasilitas produksi baru, yakni pabrik Hot Strip Mill kedua (HSM 2), yang akan beroperasi pertengahan tahun ini.
Pabrik Hot Strip Mill (HSM) kedua berkapasitas 1,5 juta ton itu diharapkan dapat meningkatkan kapasitas produksi baja hingga 5,4 juta ton per tahun. "Saat ini produksi sekitar 5 juta ton per tahun. Tahun ini kami targetkan produksi mencapai 6 juta ton," katanya.
Silmy menuturkan guna mempercepat pembangunan klaster baja Cilegon, pihaknya akan menambah pabrik HSM ketiga dengan kapasitas 1,5 juta ton. Selain itu, pembangunan Cold Rolling Mill (CRM) yang jadi produk turunan pabrik HSM hendak dilakukan sebagai upaya hilirisasi sesuai perencanaan strategis.
Silmy menegaskan pembangunan fasilitas akan meningkatkan kemampuan industri nasional serta mengurangi defisit neraca perdagangan Indonesia. "Baja ini nomor tiga yang memberi tekanan pada defisit transaksi berjalan," katanya.
Sementara itu, skema pengembangan industri baja dalam negeri memiliki perbedaan dengan kondisi yang terjadi di luar. Di tengah kelebihan pasokan baja dunia, Indonesia justru meningkatkan produksi baja nasional. Namun, hal ini bisa dimaklumi seiring dengan kebutuhan besar untuk pembangunan infrastruktur di dalam negeri.
(Baca: Impor Baja Tiongkok Masih Akan Menggerus Neraca Perdagangan)
Deputi VII Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Kementerian Perekonomian Rizal Affandi Lukman mengatakan, karena pasokan berlebih, sejumlah negara seperti Tiongkok, Uni Eropa, Jepang, Amerika Serikat, dan Afrika Selatan bahkan menekan produksi baja habis-habisan.
Negara-negara G20 juga setuju membentuk forum global untuk mengurangi produksi baja dunia yang disebut mencapai 1.900 juta ton per tahun. Tapi, tidak semua negara sepakat. “Beberapa negara seperti Indonesia, Meksiko, dan Brasil justru meningkatkan kapasitas industri untuk memenuhi permintaan baja domestik," kata Rizal dalam The 4th Government Task Force Team Meeting for National Steel Industry Development di Jakarta, Kamis (21/3).
(Baca: Pemerintah Akan Revisi Bea Masuk Anti Dumping Bermuatan Besi Plat)
Deputi Bidang Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Fajar Harry Sampurno mengatakan permintaan baja di dalam negeri masih tinggi dibandingkan kapasitas produksi. Maka dari itu, penting upaya peningkatan kapasitas produksi. "Tinggal koordinasi kebijakan agar bisa seimbang hulu dan hilir dalam industri baja ini," ujarnya.