Dampak Anti Sawit Eropa, Gapki: Perlu Alternatif Pasar Ekspor

ANTARA FOTO/Budi Candra Setya
Kelapa sawit
19/3/2019, 17.54 WIB

Pelaku usaha menilai polemik anti sawit Uni Eropa akan berdampak besar bagi penjualan komoditas perkebunan tersebut ke luar negeri, terutama ke kawasan Eropa. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyatakan perlu langkah antisipasi penurunan ekspor ini.

“Kalau Gapki menilai harus ada alternatif pasar ekspor baru dan hilirisasi sawit,” kata Sekretaris Jenderal Gapki Kanya Lakshmi Sidarta kepada Katadata.co.id, Selasa (19/3).

Dia mengatakan Indonesia harus gencar membuka alternatif pasar-pasar ekspor baru, seperti negara-negara di Afrika Tengah, Afrika Selatan, negara pecahan Rusia, dan negara-negara di Timur Tengah yang cukup prospektif. Sebenarnya, sawit cukup diperhitungkan keekonomiannya sebagai komoditas di dunia. Dengan membuka pasar-pasar baru, Indonesia bisa memiliki kontrol kewajaran pasar.

(Baca: Dengan 10 Poin, Pemerintah RI Protes Larangan Sawit oleh Eropa)

Langkah selanjutnya adalah dengan menggenjot program hilirisasi sawit. Selama ini produk sawit yang diekspor masih dalam bentuk setengah jadi. Dengan hilirisasi, akan ada nilai tambah yang dihasilkan dengan mengekspor produk jadi. Selain itu, hilirisasi berpeluang membuka investasi bagi negara-negara non-Eropa melihat pasar sawit Indonesia.

Namun, perlu dukungan pemerintah untuk mengimplementasikan dua langkah tersebut. Pemerintah harus menggali lebih luas bahan baku yang ada di dalam negeri. Kemudian, dibutuhkan juga peningkatan infrastruktur, teknologi, kualitas sumber daya manusia (SDM), dan teknis pemasaran yang bisa diterapkan. “Kita juga harus punya perencanaan jangka pendek, menengah, dan panjang,” ujar Lakshmi.

Intinya, kata Lakshmi, Gapki masih melihat dan menunggu (wait and see) kelanjutan polemik sawit Uni Eropa. Dia menilai kondisi ini akan menjadi trigger untuk perdagangan komoditas yang lain. Karenanya, pemerintah tidak bisa menganggap remeh bahwa Eropa adalah satu-satunya peluang pasar ekspor sawit, pemerintah harus lebih siap.

(Baca juga: Efek Negosiasi AS-Tiongkok, Permintaan Sawit Tahun Ini Bakal Turun)

Sementara, Wakil Ketua Umum Gapki Togar Sitanggang mengapresiasi langkah cepat pemerintah menolak keputusan Komisi UE terhadap diskriminasi sawit Indonesia, yang diklasifikasikan sebagai komoditas tidak berkelanjutan dan berisiko tinggi. “Ini langkah dan kebijakan untuk memperjuangkan kepentingan sawit,” kata Togar saat ditemui di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, di Jakarta, Senin (18/3).

Gapki akan terus mendukung kebijakan pemerintah apabila ingin mengambil langkah lanjut dan membawa kasus ini ke tingkat organisasi perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO). (Baca: Uni Eropa Diskriminasi Sawit, Pemerintah Kaji Ulang Perjanjian IE-CEPA)