Pemerintah mengakui upaya percepatan investasi Indonesia masih kalah dibanding negara-negara lain, terutama Vietnam, Thailand, dan Singapura. Selain faktor eksternal, ada juga faktor internal yang menghambat upaya pemerintah melakukan percepatan investasi.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Trikasih Lembong menyebutkan faktor eksternal mempengaruhi investor menanamkan modalnya ke suatu negara. Faktor ini antara lain perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, kenaikan suku bunga Bank Sentral AS, dan kembalinya arus modal asing dari negara berkembang ke negara maju.
Di sisi lain, faktor internal juga menghambat upaya percepatan investasi. Thomas mengaku mendapat keluhan dari para investor lantaran mengalami hambatan ketika ingin berinvestasi, terutama di sektor industri. Padahal, investasi adalah langkah pertama menuju ekspor.
“Ada lima hambatannya,” kata Thomas, di Jakarta, Rabu (13/3). Pertama, kebijakan regulasi. Investor merasa terlalu banyak peraturan yang masih belum jelas dan tumpang tindih.
(Baca: Investasi 4 Tahun Terakhir Buka 6,3 Juta Lapangan Kerja Baru)
Kedua, terkait kemudahan usaha. Laporan Bank Dunia tentang ease of doing business (EoDB) 2019 menunjukkan Indonesia turun satu peringkat ke posisi 73 dari 190 negara dibandingkan tahun lalu di peringkat ke-72. Peringkat Indonesia ini berada di bawah Peru, Vietnam, Kirgistan, Ukraina, dan Yunani.
Penurunan peringkat Indonesia dalam kemudahan berusaha ini menunjukkan Indonesia masih jauh dari target yang ditetapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di posisi ke-40 dunia. Padahal, kenaikan peringkat Indonesia pada tiga tahun sebelumnya cukup signifikan. Pada laporan 2016, Indonesia berada di peringkat ke-106 kemudian meningkat ke peringkat 91 pada 2017. Lonjakan yang paling besar terlihat dalam EoDB 2018, yang naik 19 peringkat ke posisi 72.
Ketiga, aspek kualitas tenaga kerja Indonesia masih belum mampu menandingi dibandingkan negara-negara tetangga. Keempat, terkait aspek lahan, mulai dari perizinan tanah sampai lahan dan bangunan. Kemudian kelima, terlalu dominannya (overdominasi) peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam proyek-proyek pemerintah.
Investor seringkali merasa hubungan sektor swasta dan BUMN semakin negatif dan tidak adil. "Ini semakin menyolok, semakin menjadi keluhan. BUMN juga menjadi beban, mengganggu dinamisme dari sektor swasta," kata Thomas. (Baca:
Kadin Anggap Swasta Lebih Berperan dalam Pembangunan Berkelanjutan)
Sebenarnya, kata Thomas, saat ini pemerintah sedikit demi sedikit sudah melakukan perbaikan investasi seperti layanan Online Single Submission (OSS). Berdasarkan data Kementerian Koordinasi Bidang Perekonomian per 10 Maret 2019, total registrasi OSS sebanyak 127.405 badan usaha dan perorangan. Aktivasi akun sebanyak 115.675; nomor induk berusaha (NIB) 114.246, izin usaha 106.867, dan izin komersial atau operasional 81.797.
Adapun, dua aspek utama dari OSS yakni persoalan izin yang ingin dipercepat, dan pengkawalan investasi. "Yang namanya investasi itu harus dikawal, mulai dari awal hingga akhir. Harus dikawal langsung oleh pimpinan," ujar Thomas.
Mengenai target investasi tahun ini, Thomas mengatakan BKPM akan bekerja sama dengan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) untuk mendongkrak pertumbuhan investasi di atas 5%. Menurutnya, jika angka ini bisa mencapai 6 persen, ini akan memacu sektor-sektor lainnya.