Indonesia Tolak Keputusan Uni-Eropa Terkait Aturan Anti-Sawit

Arief Kamaludin|KATADATA
Petani memanen buah kelapa sawit di salah satu perkebunan kelapa sawit di Desa Delima Jaya di Kecamatan Kerinci, Kabupaten Siak, Riau.
Penulis: Michael Reily
Editor: Ekarina
27/2/2019, 09.39 WIB

Indonesia menolak keputusan Uni-Eropa terkait pelarangan minyak kelapa sawit dalam kebijakan energi terbarukan (Renewable Energy Directive II/RED II). Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan mengundang pengusaha sawit untuk mendiskusikan respons Indonesia, karena kebijakan tersebut dinilai bakal merugikan.  

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono menyatakan penolakannya terhadap kebijakan Uni-Eropa. “Kami merespons bahwa kami tidak setuju atas konsep dalam Delegated Act itu,” kata Joko usai rapat di Jakarta, Selasa (26/2). 

(Baca: Produsen Sawit Ancam Laporkan Uni-Eropa ke WTO soal Aturan Anti-Sawit )

Karenanya, pemerintah dan pengusaha sawit merapatkan barisan guna merespons Uni-Eropa yang di satu sisi memiliki  fokus lain dan memicu sengketa dari produsen sawit. Contohnya mengenai tudingan bahwa kelapa sawit sebagai komoditas penyebab deforestasi. 

Indonesia diberi waktu paling lambat pada 8 Maret 2019 untuk menyampaikan responsnya atas kebijakan Uni-Eropa.

Wakil Ketua Bidang Perdagangan Gapki Togar Sitanggang mengungkapkan tuduhan antisubsidi juga menjadi fokus Indonesia dalam pelarangan biodiesel di Uni-Eropa. Akibat kebijakan tersebut, pengusaha khawatir ekspor biodiesel akan merosot tahun ini.

Togar melihat kesempatan sanggahan dilakukan Indonesia  untuk menjawab Delegated Act Uni-Eropa. “Semua hal yang kita bisa gunakan dan tersedia bakal kita gunakan, termasuk pendapat positif internasional,” ujarnya.

(Baca: Pungutan Ekspor Sawit Tahun 2018 Mencapai Rp 14 Triliun)

Komisi Uni-Eropa telah meresmikan Delegated Act yang rencananya mulai pada 1 Februari 2019 untuk mengeluarkan kelapa sawit dari energi terbaukan. Delegated Act adalah langkah kepada negara Uni-Eropa untuk mulai mengimplementasikan kesepakatan bersama.

Togar mengungkapkan, Indonesia bakal merespons sanggahan melalui pemerintah untuk menjawab keputusan Uni-Eropa. Namun, jika keputusan itu sudah bulat dan tak bisa diganggu gugat, pemerintah dan pelaku usaha siap untuk melapor kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Sebelumnya, International Union for Conservation of Nature (IUCN) menyebut pelarangan kelapa sawit berpotensi menyebabkan deforestasi lebih besar. Sebab, deforestasi justru  diakibatkan oleh tanaman penghasil minyak nabati lain. Ini dikarenakan, dalam proses produksinya, minyak kelapa sawit merupakan produk minyak nabati paling efisien dibandingkan bunga matahari, kedelai, dan rapeseed.

Laporan ILUN menyatakan kelapa sawit adalah minyak nabati terproduktif, yang mana per 0,26 hektare lahan sawit mampu menghasilkan 1 ton minyak sawit. Ini berbanding terbalik dengan bunga matahari yang memerlukan hingga 1,43 hektare lahan untuk menghasikan 1 ton minyak nabati. Demikian halnya dengan rapeseed  yang membutuhkan 1,25 hektare laham atau kacang kedelai yang memerlukan hingga 2 hektare lahan untuk menghasilkan 1 ton minyak nabati. 

Pada rapat berbeda di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengungkapkan RED II adalah tindakan diskriminasi terhadap sawit. Sehingga, para produsen sawit dalam Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) menyatukan suara.

Oke menjelaskan, negara penghasil kelapa sawit harus memberikan sikap yang sama terhadap kampanye negatif. Sehingga, WTO juga akan menjadi salah saru jalan keluar. “Kami tidak setuju dengan RED II,” katanya tegas.

Reporter: Michael Reily