Kementerian Pariwisata (Kemenpar) menargetkan pengembangan 7.000 kamar homestay tahun ini. Sebelumnya, sebanyak 3.000 homestay desa Wisata sudah dikembangkan sepanjang 2017-2018.
Ketua Tim Percepatan Pengembangan Homestay Desa Wisata, Kemenpar Anneke Prasyanti menyebutkan, target pengembangan tahun ini dibagi ke dalam empat skema. Di antaranya, konversi sebanyak 4.900 unit kamar (70%), renovasi dan revitalisasi sebanyak 1.750 unit (25%), serta bangun baru 350 unit (5%).
"Dari 7.000 unit kamar homestay yang bakal dikembangkan, mayoritas diperbaiki," kata Anneke di Jakarta, Rabu (20/2).
Adapun syarat untuk pengembangan homestay oleh Kemenpar di antaranya harus terletak di desa wisata yang memiliki atraksi berbasis alam dan budaya. Selain itu, homestay harus dikelola oleh komunitas lokal, dan menggunakan konteks budaya setempat.
(Baca: Buleleng Raih Penghargaan Tingkat Nasional)
Hanya, ada kendala kebijakan perpajakan yang dianggap belum mendukung pertumbuhan homestay desa wisata. Di antaranya, para pemilik pondok wisata ini dikenakan pajak berganda, mulai dari pajak pemerintah pusat hingga beberapa jenis pajak yang dipungut oleh daerah.
"Kalau omzetnya lebih dari Rp 4,8 miliar per tahun maka dikenakan tarif PPh normal, tetapi kalau omzet di bawah Rp 4,8 miliar, dia bisa memilih apakah dengan tarif normal atau insentif yang sebesar 0,5 % final yang diberikan pemerintah," kata Kasubdit Peraturan PPh Badan Wahyu Santosa.
Di tempat yang sama, Guru Besar Ilmu Kebijakan Perpajakan Universitas Indonesia Haula Rosdiana mengatakan bahwa di daerah, bisa ada 3 hingga 4 jenis pajak yang dikenakan kepada pelaku usaha homestay desa wisata.
Pertama, homestay dikenakan pajak hotel sebesar 10%, kedua Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2), dan ketiga pajak penerangan jalan, juga pajak air tanah.
(Baca: Pemerintah Genjot Pembangunan Infrastruktur Kawasan Wisata Prioritas)
Menurut Haula, pemerintah memiliki ruang untuk menunjukkan keberpihakan kepada pelaku usaha homestay desa wisata dengan memberikan insentif pajak. “Politik perpajakan yang pro pada mereka harus kuat, jangan hanya soal revenue," kata Haula.