Salip Vietnam, RI Kebut Perjanjian Dagang Komprehensif dengan Korsel

Katadata
Pemerintah berencana meningkatkan perdagangan dengan Korea Selatan.
Penulis: Michael Reily
Editor: Ekarina
19/2/2019, 19.26 WIB
Indonesia dan Korea Selatan sepakat untuk mengaktifkan kembali perundingan perjanjian dagang ekonomi komprehensif (CEPA) dengan target penyelesaian pada akhir tahun ini. Melalui kerja sama itu, pemerintah berharap Korea Selatan lebih memilih produk Tanah Air daripada produk Vietnam.
 
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyatakan perdagangan Indonesia dan Korea Selatan baru mencapai US$ 20 miliar pada 2018. Namun, angka itu rupanya jauh tertinggal dibandingkan porsi perdagangan Vietnam dan Korea Selatan yang telah mencapai US$ 60 miliar pada periode yang sama. "Potensi Korea Selatan besar dalam segala aspek, perdagangan barang dan jasa serta investasi," kata Enggar di Jakarta, Selasa (19/2).
 
Kedua negara pun ke depan akan mengadakan forum bisnis sebagai working group untuk mengatasi kendala dagang dan penanaman modal. Pada 2023, kedua negara menargetkan bisa mencapai total perdagangan sebesar US$ 30 miliar.
 
 
Enggar mengaku percepatan CEPA antara Indonesia dan Korea Selatan bukan target yang terlalu ambisiuss. Alasannya, kedua negara sudah memiliki dasar ASEAN-Korea FTA serta RCEP yang bisa menjadi acuan dasar. Selain itu, pengalaman Indonesia dalam menyelesaikan perjanjian dagang beberapa tahun terakhir juga menjadi modal untuk melaju pesat.
 
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo mengungkapkan CEPA merupakan peningkatan dari perjanjian dagang ASEAN-Korea FTA. Karenanya, Indonesia maupun Korea Selatan akan mencari ruang untuk meningkatkan perdagangan secara bilateral. Salah satu upayanya adalah dengan berkolaborasi dalam konteks teknologi dalam industri manufaktur serta pelayanan publik.
 
Iman menjelaskan, pemanfaatan Indonesia dalam ASEAN-Korea FTA baru mencapai 92% sehingga masih ada ruang untuk ditingkatkan, tetapi kesepakatan CEPA tak boleh berulang dalam Kemitraan Ekonomi Regional Komprehensif (RCEP). "Kami akan lihat bagaimana konfigurasinya nanti, tetapi Korea Selatan punya fokus pada industri 4.0 yang harus dirangkul," ujarnya.
 
Dia menceritakan, Indonesia dan Korea Selatan telah memulai perundingan CEPA sejak 2012 dan berjalan 7 putaran hingga tahun 2014. Namun, perundingan sempat terhenti karena kedua pihak melakukan kajian fokus ulang untuk mencari jalan keluar dalam menghadapi potensi kendala yang muncul. 
 
Sementara itu, Ketua Kamar Dagang dan industri (Kadin) Indonesia Komite Korea Jongkie D. Sugiarto mengungkapkan CEPA memang lebih banyak mencakup tentang perdagangan, tetapi juga bisa dimanfaatkan untuk memicu peningkatan investasi. Oleh karena itu, pelaku usaha harus bisa memanfaatkan potensi peningkatan perdagangan kedua negara.
 
 
Jongkie menyebutkan tiga sektor yang berpotensi besar digrap dalam kerja sama tersebut  adalah makanan dan minuman, pariwisata, serta manufaktur. Menurutnya, Indonesia bisa memanfaatkan pembebasan tarif dengan promosi besar-besaran di Korea dalam bentuk pameran makanan atau pameran pariwisata.
 
Pendapatan per kapita penduduk Korea Selatan yang lebih tinggi serta selera makanan yang tak jauh berbeda bisa menjadi celah bagi produk Indonesia masuk ke Negeri Gingseng. Dia ingin menyebarluaskan cerita bagi Korea Selatan bahwa Indonesia tidak hanya rendang, ada juga produk kacang, sambal, keripik, atau tempe untuk makanan.
 
Selain itu, untuk pariwisata, Indonesia juga sedang mendorong peningkatan kunjungan wisatawan mancanegara dengan pengembangan Program Bali Baru. Apalagi penerbangan langsung dari Korea Selatan ke daerah di Indonesia mulai menjamur. "Saya usulkan jalurnya berasal dari pameran, tak kenal maka tak sayang," kata Jongkie.
 
Untuk industri manufaktur, dia menyebutkan banyak perusahaan Korea Selatan yang melakukan investasi pabrik garmen atau perlengkapan kecantikan kecil-kecilan. Pabrik itu pun berguna untuk peningkatan ekspor ke Korea Selatan dan negara lain.
 
Reporter: Michael Reily