Indonesia kembali mengawali tahun 2019 dengan rapor merah kinerja neraca perdagangan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan, pada Januari 2019, neraca perdagangan Indonesia defisit US$ 1,16 miliar, melebar dari realisasi defisit perdagangan periode Desember 2018 sebesar US$ 1,03 miliar. Angka tersebut juga lebih besar dibanding defisit neraca perdagangan Januari 2018 yang tercatat sebesar US$ 760 juta.
Kepala BPS Suhariyanto menyatakan perlambatan perekonomian global serta fluktuasi harga komoditas menjadi salah satu penyebab melebarnya angka defisit perdagangan Januari 2019. "Banyak hal yang menjadi tantangan perdagangan tahun ini," kata Suhariyanto di Jakarta, Jumat (15/2).
Menurut sektor, BPS mencatat, defisit perdagangan Januari lebiih banyak disumbang oleh defisit nonmigas sebesar US$ 704,7 juta, lebih tinggi daripada defisit migas yang hanya US$ 454,8 juta. Adapun dalam komponen migas, defisit minyak mentah periode lalu mencapai US$ 383,6 juta serta defisit hasil minyak US$ 981,1 juta. Hanya gas yang surplus sebesar US$ 909,9 juta.
(Baca: Defisit Transaksi Berjalan Kuartal IV US$ 9,1 M, Terburuk Sejak 2013)
Di samping itu, lemahnya kinerja ekspor juga menjadi faktor penyebab melebarnya neraca dagang pada Januari 2019, padahal di sisi lain nilai impor turun. Suhariyanto menyebut, total ekspor pada Januari 2019 sebesar US$ 13,87 miliar, turun 3,24% dibanding periode Desember 2018 sebesar US$ 14,33 miliar. Sedangkan dibanding Januari 2018 yang mencapai US$ 14,55 miliar, turun 4,70%.
Jika dirinci menurut sektor, ekspor migas periode Januari 2019 yang mencapai US$ 1,24 miliar, merosot 29,30% dibanding Desember 2018. Sedangkan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya ekspor migas mengalami penurunan sebesar 6,72%.
Sementara untuk ekspor nonmigas, dengan realisasi ekspor US$ 12,63 miliar, angka ini naik tipis 0,38% dibandingkan Desember 2018. Namun jika dibandingkan Januari tahun sebelumnya, ekspor nonmigas turun 4,50%. Sektor non migas menyumbang 91,10% terhadap total ekspor Januari 2019.
"Penurunan ekspor paling besar berasal mesin atau pesawat mekanik, mesin peralatan listrik, dan berbagai produk kimia," ujar Suhariyanto.
Berdasarkan negara tujuan, ekspor nonmigas Indonesia tercatat mengalami peningkatan ke Thailand, Filipina serta Spanyol. Namun, terjadi pula penurunan khususnya ke India (-US$ 100 miliar), Malaysia ( -US$ 132,4 miliar) serta Singapura (-US$ 199 miliar).
Realisasi ini menyebabkan pangsa ekspor Indonesia ke India semakin menyusut dari sekitar 8,3% pada 2018 menjadi 7,93% di Januari 2019 dan Singapura yang juga menyusut dari 5,4% menjadi 4,87%.
(Baca: Biang Masalah dari Rekor Terburuk Neraca Dagang RI)
Sementara itu, periode Januari 2019 impor berhasil ditekan 2,19% menjadi US$ 15,03 miliar, jika dibandingkan Desember 2018 yang mencapai US$ 15,36 miliar. Impor juga mengalami penurunan 1,83% dibandingkan Januari 2018 yang sebesar US$ 15,31 miliar.
Lebih rinci, BPS menejalaskan impor nonmigas stagnan pada level US$ 13,34 miliar dibandingkan Desember 2018. Pada periode yang sama, impor migas turun 16,58% dari US$ 2,03 miliar menjadi US$ 1,69 miliar.
Untuk impor nonmigas, bahan baku penolong masih memiliki porsi dominan 76,21% dengan nilai US$ 11,45 miliar diikuti impor barang modal sebesar US$ 2,36 miliar dengan kontribusi 15,66% dan barang konsumsi sebesar US$ 1,22 miliar yang berkontribusi 8,13%.
Peningkatan impor antara lain terjadi pada golongan barang bahan kimia organik, plastik dan barang dari plastik, serta besi dan baja. Namun, terjadi penurunan impor mesin pesawat mekanik, sayuran, serta gula dan kembang gula.
Peningkatan impor berasal dari Vietnam, Jerman, dan Taiwan. Sementara, penurunan impor dari Tiongkok berkurang US$ 296,7 juta, India turun US$ 60,8 juta serta Pakistan yang juga lebih rendah US$ 53,3 juta.
Suhariyanto menyebutkan pemerintah harus melakukan langkah peningkatan ekspor dalam situasi global yang tidak menentu. "Sekarang, penurunan impor lebih landai daripada penurunan ekspor," katanya.