Pelaku usaha mengusulkan pemanfaatan teknologi untuk mencegah rembesan gula kristal rafinasi ke pasar. Usulan itu pun disampaikan untuk merespons regulasi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 1 Tahun 2019 tentang perdagangan gula kristal rafinasi yang baru dirilis kemarin.
Aturan itu dinilai belum cukup ketat, sehingga dinilai masih ada celah gula rafinasi merembes ke pasar. Koordinator Forum Lintas Asosiasi Industri Pengguna Gula Rafinasi (FLAIPGR) Dwiatmoko Setiono menyatakan salah satu teknologi yang bisa dimanfaatkan untuk mencegah kebocoran gula rafinasi dalam proses distribusinya adalah melalui barcode.
"Kalau ada gula yang bocor bisa dengan mudah melacak pihak mana yang nakal," kata Dwiatmoko kepada Katadata.co.id, Kamis (31/1).
(Baca: Kemendag Rilis Regulasi Pengetatan Tata Niaga Gula Rafinasi)
Menurutnya, dengan penggunaan teknologi barcode, produsen gula rafinasi serta industri pengguna dan koperasi diharapkan bisa lebih tertib. Selain itu, pemerintah harus bisa menjelaskan kondisi gula rafinasi dalam proses transisi stok yang ada di grosir setelah aturan terbit.
Secara keseluruhan, dia mengapresiasi Permendag 1/2019 karena telah mengakomodasi kebutuhan industri kecil dan menengah melalui koperasi. "Setidaknya ada dua poin hal yang lebih baik dan berbeda dibandingkan aturan sebelumnya," ujar Dwiatmoko.
Pertama, aturan tentang koperasi yang ditunjuk harus membuat laporan pembeli dengan izin industri kecil dan menengah. Kedua, industri pengguna juga tidak boleh mengemas gula rafinasi dalam ukuran eceran, dengan pencantuman ukuran minimal 50 kilogram atau 25 kilogram.
Lain halnya yang diungkap Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI). Ketua Umum AGRI, Rachmat Hariotomo mengatakan tata niaga gula rafinasi diharapkan bisa lebih mudah jika dilakukan melalui sistem pendaftaran digital melalui Online Single Submission (OSS). Asosiasi sendiri saat ini terdiri dari beberapa perusahaan yang mendapatkan izin impor gula mentah untuk diolah menjadi gula rafinasi.
(Baca: Manis Impor Gula Menjelang Pemilu)
Sehingga dia pun mengapresiasi langkah pemerintah menerbitkan Permendag 1/2019 untuk memenuhi kebutuhan industri kecil dan menengah."Kami harap penyaluran melalui koperasi dapat lebih memberikan jaminan keamanan," katanya.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita telah mengeluarkan Permendag 1/2019. Aturan itu mewajibkan kontrak kerja sama antara produsen dengan industri pengguna.
Dalam regulasi tersebut, pasal 5 ayat 1 itu menyebutkan produsen gula kristal rafinasi dilarang menjual gula kepada distributor, pedagang pengecer, serta konsumen. Ayat 2 juga mengharuskan pemenuhan kebutuhan industri skala kecil dan menengah melalui distributor berbadan usaha koperasi.
Koperasi itu juga harus terdaftar dan mendapatkan surat dukungan dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. Permohonan rekomendasi tersebut harus melampirkan data kebutuhan dan alamat industri pengguna.
Koperasi yang melakukan pemesanan juga harus memberikan laporan distribusi kepada Kementerian Perdagangan. Sementara itu, untuk industri pengguna besar wajib memiliki dokumen Izin Usaha Industri (IUI) dan Tanda Daftar Industri (TDI).
(Baca: Faisal Basri: Tingginya Disparitas Harga Gula Membuka Peluang Korupsi)
Pasal 8 menetapkan perdagangan paling sedikit menggunakan kemasan ukuran 50 kilogram (kg), serta untuk kebutuhan khusus dalam ukuran 25 kg. Kementerian Perdagangan juga melarang pengemasan ulang dalam ukuran yang lebih keci.
Skala distribusinya juga minimal 25 ton dengan menggunakan alat angkut tertutup berbentuk tangki. Alat angkut harus memuai nama produk, perusahaan, identitas, serta kapasitas.
Produsen juga harus melakukan pendaftaran via layanan elektronik Sistem Informasi Perizinan Terpadu (SIPT). Nantinya, produsen harus menyampaikan realisasi perdagangan setiap bulan.
Aturan ini merupakan hasil harmonisasi sejak pemerintah menghentikan uji coba lelang gula rafinasi, tahun lalu. Permendag 1/2019 diterbitkan tanggal 11 Januari 2019 dan diundangkan pada 21 Januari 2019.