Mendag Lobi Pengusaha AS untuk Pertahankan Pemberian Insentif Tarif

Arief Kamaludin | Katadata
Penulis: Michael Reily
Editor: Ekarina
18/1/2019, 09.34 WIB

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita tengah melobi pengusaha di Amerika Serikat (AS) agar mempertahankan pemberian fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) untuk Indonesia. Pemberian fasilitas GSP menjadi salah satu agenda utama pemerintah dalam kunjungannya ke Negeri Paman Sam pada 14-19 Januari 2019.

Dalam pertemuan Mendag dengan Duta Besar United State Trade Representative (USTR) Robert E. Lighthizer di Washington DC, AS, kedua pihak membahas perkembangan GSP yang berada dalam proses peninjauan sejak tahun lalu.

Dia menjelaskan pertemuan dengan USTR berlangsung konstruktif karena kedua pihak memahami bahwa GSP menguntungkan kedua negara. "Produk ekspor Indonesia yang mendapatkan fasilitas GSP memang dibutuhkan pelaku usaha AS dalam proses produksi sehingga kompetitif," kata Enggar dalam keterangan resmi dari AS, Jumat (18/1).

(Baca: Pengusaha Minta Pemerintah Selesaikan Hambatan Dagang dengan AS)

Meski AS belum ada kepastian, kedua pihak sepakat pembahasan bisa mencapai hasil positif yang saling menguntungkan. Enggar juga menekankan supaya eksportir Indonesia tidak khawatir tentang pemanfaatan GSP karena fasilitas tersebut masih dapat digunakan walaupun masih dalam pengkajian.

Selain itu, dia juga bertemu sejumlah pelaku usaha Paman Sam untuk mendapatkan dukungan terhadap keberlanjutan program GSP untuk Indonesia. AS merupakan tujuan ekspor terbesar kedua Indonesia dengan nilai US$ 17,67 miliar. Sebaliknya, impor Indonesia dari AS adalah urutan terbesar kelima dengan nilai perdagangan US$ 9,11 miliar.

Enggar bertemu dengan Pimpinan Chamber of Commerce AS Tom Donohue. Dia menjelaskan tentang hasil perdagangan kedua negara selama 2018 serta rencana transaksi lebih lanjut pada tahun 2019. "Kami ingin membawa Indonesia lebih jauh ke dalam mata rantai pasok global," ujarnya.

(Baca: Ancaman Baru Fasilitas Dagang Amerika untuk Indonesia)

Selain itu, Enggar juga menggelar pertemuan dengan Chief Executive Officer (CEO) Footwear Distributors & Retailers of America (FDRA) Matt Priest di Kedutaan Besar Indonesia yang berlokasi di Washington DC, AS. Kedua pihak menyampaikan dukungan supaya Indonesia tetap mendapatkan fasilitas GSP.

Dia juga bertemu dengan empat pelaku usaha yang memperolah manfaat dari pemberian fasilitas GSP, yaitu Royal Chain Group, Nike, Allegheny Technology Incorporated (ATI) Metals, serta Mars Inc. Pendekatan kepada pengusaha AS juga salah satunya bertujuan agar mereka menyampaikan testimoni kepada Pemerintah AS mengenai pentingnya fasilitas GSP untuk Indonesia untuk kelanjutan bisnis.

Dalam pertemuan dengan CEO dan Senior Vice-President Royal Chain Group, Enggar berharap agar perhiasan dari Indonesia tetap mendapatkan fasilitas GSP supaya mempertahankan daya saing. Sementara dalam pertemuan dengan Nike, dia juga mengimbau agar Nike bisa meningkatkan kemitraan kedua negara.

Menurutnya, Nike memiliki rencana berinvestasi di Indonesia. Karenanya dia berharap produksi sepatu dalam negeri meningkat, sehingga Indonesia bisa menjadi salah satu  produsen sepatu utama di dunia.

(Baca: Nego Fasilitas Bea Masuk, RI-AS Naikan Transaksi Dagang US$ 50 Miliar)

Selanjutnya, dalam pertemuannya dengan  CEO ATI Metals Robert Wetherbee, Enggar mengatakan Indonesia mendapatkan peluang meningkatkan ekspor besi baja Indonesia ke AS sebesar 336 ribu ton berdasarkan ketentuan pembebasan tarif terkait penerapan tarif baja dan aluminium tinggi. Dia juga mengundang ATI Metals untuk membangun industri di Indonesia.

Sementara dalam pertemuan dengan Frank E. Mars dari Mars Inc., kedua pihak membahas situasi politik dan ekonomi global. Sehingga, prospek ekonomi kedua negara mempunyai kesempatan kerja sama karena masih banyak potensi antara Indonesia dan AS.

Selain bertemu secara khusus dengan keempat pelaku AS, dia bertemu dengan pelaku usaha lainnya dalam ‘roundtable cluster on GSP’. Pembahasannya adalah kendala perdagangan Indonesia dengan AS serta upaya untuk meningkatkan perdagangan dan investasi antara kedua negara.

Reporter: Michael Reily