Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan sepanjang 2018 mengalami defisit sebesar US$ 8,57 miliar. Rapor merah transaksi perdagangan sekaligus menjadi rekor defisit terbesar sepanjang sejarah, sejak Indonesia merdeka.
Kepala BPS mengatakan torehan tersebut merupakan defisit neraca perdagangan terbesar sejak tahun 1945. "Kita perlu berupaya lagi tetapi banyak tantangan karena prediksi perdagangan yang cukup sulit," kata Suhariyanto di Jakarta, Selasa (15/1).
Dia mengatakan, sempat terjadi defisit pada 1945 sampai 1975, meski nilainya tidak terlalu besar dengan capaian tertinggi pada 1975 sekitar US$ 391 juta. Kemudian sejarah defisit perdagangan terbesar lainnya juga terjadi pada 2012 dengan nilai US$ 1,7 miliar dan diikuti tahun berikutnya menjadi sebesar US$ 4,08 miliar pada 2013.
Adapun nilai ekspor 2018 tercatat mencapai US$ 180,05 miliar dengan realisasi impor US$ 188,62 miliar. Jika dibadingkan 2017, ekspor Indonesia mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya yang tercatat sebesar US$ 168,82 miliar, sementara impor 2017 juga tercatat lebih rendah sebesar US$ 156,98 miliar. Alhasil secara keseluruhan, neraca perdagangan Indonesia pada 2017 masih mencatat surplus US$ 11,84 miliar.
Suhariyanto mengungkapkan, defisit neraca perdagangan Indonesia pada 2018 salah satunya masih disebabkan oleh defisit neraca migas sebesar US$ 12,40 miliar. Yang mana dari nilai tersebut, defisit minyak mentah tercatat sebesar US$ 4,04 miliar, defisit hasil minyak US$ 15,94 miliar. Namun gas surplus US$ 7,58 miliar.
Sementara itu, neraca nonmigas masih mengalami surplus sebesar US$ 3,83 miliar. "Kebijakan seperti peningkatan ekspor dan pengendalian impor harus semakin membaik untuk meningkatkan perdagangan," ujarnya.
(Baca: Strategi Ekspor Disiapkan untuk Antisipasi Defisit Dagang Tahun Depan)
BPS juga mencatat, sepanjang 2018 ekspor komoditas andalan Indonesia yakni minyak kelapa sawit mengalami penurunan 11,39% dari US$ 22,96 miliar menjadi US$ 20,35 miliar. Demikian halnya untuk komoditas karet dan barang dari karet turun 17,56% dari US$ 7,74 miliar menjadi US$ 6,38 miliar.
Sementara untuk ekpsor ke negara tujuan, Indonesia masih mengalami surplus perdagangan dengan India sebesar US$ 8,76 miliar, Amerika Serikat (AS) sebesar US$ 8,56 miliar, serta Belanda sekitar US$ 2,62 miliar. Di sisi lain, defisit perdagangan juga diraih Indonesia dnegan defisit perdagangan terbesar ke Tiongkok US$ 20,85 miliar, Thailand US$ 5,13 miliar, dan Australia US$ 2,99 miliar.
Sementara itu, Ekonom Senior Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri menyatakan permasalahan utama neraca perdagangan antara lain disebabkan oleh adanya penyusutan surplus nonmigas. Pada 2017, surplus nonmigas sebesar US$ 20,41 miliar, namun pada 2018 jumlahnya turun menjadi US$ 3,83 miliar.
(Baca juga: BI Anggap Defisit Neraca Dagang Membengkak Tidak “Alarming")
Faisal juga menyoroti produk ekspor Indonesia yang masih bergantung pada komoditas berbasis sumber daya alam. "Kita terlalu bergantung pada kelapa sawit dan batu bara tetapi tidak meningkatkan kinerja manufaktur," katanya.
Menurutnya, sejak merdeka pada 1945, Indonesia hanya mencatat defisit perdagangan selama tujuh kali. Menurut data BPS, dia menuturkan defisit perdagangan terjadi pada 1945, 1952, 1961, 2012, 2013, 2014, dan 2018.
Namun pada 2018, defisit yang tercatat sebesar US$ 8,57 miliar bisa menjadi sejarah baru menggantikan capaian 2013. "Tahun 2018 defisit perdagangan terburuk sepanjang sejarah," kata Faisal.
Sebelumnya, Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira juga memprediksi neraca perdagangan Indonesia mencapai US$ 9 miliar sepanjang 2018. Pada Desember 2018, permintaan barang oleh sejumlah negara mitra dagang Indonesia diperkirakan berkurang akibat melambatnya aktivitas manufaktur.
(Baca juga: Pemerintah Punya Sejumlah Pekerjaan Rumah untuk Menekan Impor)
Terlebih, permintaan mitra dagang utama Indonesia, yakni Amerika Serikat dan Tiongkok akan berkurang. "Jelang natal dan tahun baru, AS dan Tiongkok akan menurunkan permintaan bahan baku untuk kebutuhan industrinya," kata Bhima, beberapa waktu lalu.
Fenomena itu tercermin dalam ekspor Indonesia pada November yang berkurang 5,04% ke AS dan 7,1% ke Tiongkok. Pengurangan disebabkan oleh faktor perang dagang yang terlambat diantisipasi pemerintah.
Menurut Bhima, hambatan dagang sawit di pasar internasional, terutama Uni-Eropa dan India, seharusnya segera ditangani pemerintah dan pengusaha. Pergeseran ke pasar nontradisional serta upaya lobi otoritas mitra dagang tradisional membuat nilai ekspor menjadi stagnan.