Kementerian Perdagangan menargetkan penyelesaian 12 perjanjian perdagangan pada tahun ini. Pembukaan akses pasar ekspor lewat perundingan bilateral dan regional akan menjadi salah satu startegi pemerintah dalam meningkatkan ekspor.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyatakan pemerintah harus aktif dalam pembentukan perjanjian perdagangan internasional sampai penyelesaian ratifikasi. "Kami targetkan tahun ini ada 12 perjanjian yang selesai," kata Enggar di Jakarta, Kamis (10/1).
Menurutnya, tiga perjanjian dagang berasal dari benua Afrika, yaitu Mozambik, Tunisia, dan Maroko dalam bentuk Prefential Trade Agreement (PTA). Ketiga negara tersebut diharapkan bisa menjadi hub ekspor produk Indonesia ke pasar Afrika.
(Baca: Indonesia dan Ekuador Rintis Perjanjian Perdagangan)
Kemudian, ada dua perjanjian dagang Asia Tenggara yaitu perjanjian perdagangan jasa di ASEAN serta protokol pertama amandemen Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) antara ASEAN dengan Jepang. Pembahasan antara ASEAN dan Jepang di mencakup kerja sama investasi dan jasa.
Selain lewat ASEAN, Indonesia juga masih melakukan penyelesaian pengkajian umum (general review) Indonesia-Jepang Economic Partnership Agreement (IJEPA). Pengkajian ini masih mengalami negosiasi alot sejak pembahasan terakhir kali pada 2014 lalu.
Lalu, perjanjian dagang CEPA antara Indonesia dan Australia juga diharapkan rampung tahun ini. Meski sudah selesai secara substansial, kedua negara belum sepakat dalam isu politik luar negeri. Sehingga, Kementerian Perdagangan masih menunggu persetujuan dari Kementerian Luar Negeri.
Enggar menyebutkan, Indonesia juga memulai perjanjian dagang PTA dengan Iran. Namun, dia mengaku harus berhati-hati menentukan langkah.
Kementerian Perdagangan juga akan memulai kembali perundingan dengan Turki. "CEPA dengan Turki sebenarnya sudah kita luncurkan, tertunda karena kondisi politik," ujarnya.
Begitu pun dengan perundingan CEPA dengan Uni Eropa. Permasalahan krusial seperti isu lingkungan dalam produk minyak kelapa sawit Indonesia pun masih dibahas sambil penyelesaian preferensi untuk komoditas lainnya.
(Baca: Strategi Ekspor Disiapkan untuk Antisipasi Defisit Dagang Tahun Depan)
Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), sebagai perjanjian dagang yang besar juga kerap menemui kendala. Alasannya, 16 negara yang mencakup setengah aktivitas perdagangan dunia belum menemukan titik kesepakatan yang sama.
Meski demikian, dalam perundingan RCEP pemerintah terus mencoba mencari celah. Mislanya, dengan cara mendekati Korea Selatan untuk melakukan penyelesaian perundingan bilateral dengan Indonesia. "Saya dan pejabat perdagangan Korea Selatan memiliki komitmen agar perjanjianselesai dalam satu tahun," ujarnya.