Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita memprediksi realisasi pertumbuhan ekspor nonmigas sepanjang 2018 hanya akan mencapai 7,5%. Angka tersebut berada di bawah target yang ditetapkan Kementerian Perdagangan sebelumnya yakni sebesar 11%.
Enggar mengatakan pihaknya mencoba realistis dengan situasi saat ini. Dia pun menyebut capaian 7,5% masih berada di atas target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 6,8%. "Saya mau realistis saja, tidak sesuai target," kata dia di Jakarta, Senin (7/1).
(Baca: Prospek Perdagangan 2019: Dihantui Perang Dagang dan Tekanan Ekspor)
Enggar juga menyebut realisasi ekspor nonmigas yang diprediksi 7,5% sudah cukup baik karena telah melampaui Rencana Kerja Pemerintah (RKP) sebagai syarat menggaet pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2%.
Badan Pusat Statistik (BPS) sebelumnya melaporkan ekspor nonmigas sepanjang Januari hingga November 2018 tumbuh sebesar 7,47% dibandingkan Januari sampai November 2017.
Untuk mengantisipasi dampak tekanan ekonomi global terhadap defisit neraca perdagangan, pemerintah juga telah menggelar Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) pada 20 Desember lalu. Salah satu strategi pemerintah adalah peningkatan ekspor produk jadi dalam jangka pendek untuk industri tekstil dan otomotif.
Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan perang dagang tidak akan mengubah tren pelambatan ekonomi global tahun depan. Sehingga, Amerika Serikat dan Tiongkok bakal mengurangi permintaan.
Padahal, kedua negara yang tengah melakukan gencatan senjata dalam perang dagang hingga Maret 2019 itu merupakan pangsa pasar terbesar Indonesia. BPS mencatat porsi ekspor Januari-November 2018 ke AS mencapai 10,78% dengan nilai US$ 16,19 miliar. Sedangkan ekspor Indonesia ke Tiongkok tercatat berkontribusi sebesar 15,12% senilai U$ 22,70 miliar.
(Baca: Bea Masuk Sawit India Dipangkas, Pengusaha Optimistis Ekspor Meningkat)
Bhima juga memproyeksikan ekspor Indonesia masih tertekan oleh impor untuk produksi industri manufaktur pada awal tahun. Impor minyak bumi masih akan besar karena lifting minyak dalam negeri turun. "Kuartal pertama 2019 masih akan ada defisit perdagangan US$ 1 sampai US$ 2,5 miliar," ujarnya.
Dia juga sebelumnya memperkirakan ekspor sepanjang 2019 diprediksi tumbuh 8%-9%, terutama jika tidak ada perubahan startegi yang signifikan dari pemerintah untuk mendiversifikasi pasar ekspor maupun dengan pemberian insentif. Terlebih dengan situasi perdagangan dunia yang masih diselimuti ketidakpastian.
Sementara itu, Ketua Komite Tetap Pengembangan Ekspor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Handito Joewono mengatakan pengusaha telah menyusun pengembangan ekspor sejak 2016. Sehingga, harapannya pemerintah seharusnya bisa menyesuaikan rencana pengembangan itu dengan kebijakan yang tepat.
Dia juga mengatakan, industri otomotif dan tekstil sudah memiliki kapasitas untuk meningkatkan ekspor produk jadi. "Sekarang tergantung sikap pemerintah untuk memberikan insentif yang besar supaya industri memiliki kepastian produksi," kata Handito.