Ketidakpastian perekonomian dunia serta efek perang dagang diperkirakan masih akan membayangi perekonomian Indonesia pada tahun depan. Pemerintah mulai mengantisipasi dampak tekanan ekonomi global terhadap defisit neraca perdagangan melalui startegi peningkatan ekspor produk jadi dalam jangka pendek seperti yang diputuskan Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas), Kamis malam (20/12).
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengungkapkan, pemerintah akan mulai selektif meninjau komoditas potensial berorientasi ekspor. "Arahnya itu otomotif dan tekstil, tetapi kami masih lihat lagi," kata Oke kepada Katadata.co.id, Kamis (20/12).
(Baca: Perang Dagang Belum Mengganggu Kinerja Sektor Otomotif)
Startegi peningkatan ekspor produk jadi itu diterus diperkuat untuk mengantisipasi penurunan ekspor berbasis komoditas. Sebab, struktur ekspor Indonesia masih mengandalkan komoditas seperti minyak kelapa sawit dan batubara yang umumnya rentan terpengaruh fluktuasi harga komoditas dunia dan menghadapi restriksi perdagangan internasional.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor nonmigas Januari-November 2018 mencapai US$ 150,14 miliar. Sementara ekspor bahan bakar mineral sebesar US$ 22,5 miliar dengan porsi 15,05% dan ekspor lemak dan minyak nabati US$ 18,7 miliar dengan kontribusi 12,5%.
Namun terkait kebijakan penguatan ekspor tersebut, Oke menjelaskan pemerintah masih akan membahasnya dan meminta masukan dari pelaku usaha. Rencananya, instrumen pendukung bakal berlaku mulai Februari 2019.
Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan perang dagang tidak akan mengubah tren pelambatan ekonomi global tahun depan. Sehingga, Amerika Serikat dan Tiongkok bakal mengurangi permintaan.
Padahal, kedua negara yang tengah melakukan gencatan senjata dalam perang dagang hingga Maret 2019 itu merupakan pangsa pasar terbesar Indonesia. BPS mencatat porsi ekspor Januari-November 2018 ke AS mencapai 10,78% dengan nilai US$ 16,19 miliar. Sedangkan ekspor Indonesia ke Tiongkok tercatat berkontribusi sebesar 15,12% senilai US$ 22,70 miliar.
(Baca: Bappenas Dorong Peningkatan Ekspor Produk Makanan Halal)
Bhima juga memproyeksikan ekspor Indonesia masih tertekan oleh impor untuk produksi industri manufaktur pada awal tahun. Impor minyak bumi masih akan besar karena lifting minyak dalam negeri turun. "Kuartal pertama 2019 masih akan ada defisit perdagangan US$ 1 sampai US$ 2,5 miliar," ujarnya.
Dia pun mengapresiasi upaya pemerintah dalam meningkatkan ekspor produk jadi. Namun, dia menyarankan pemerintah agar tak hanya memberikan insentif fiskal untuk produk yang akan diekspor, tetapi juga jaminan ketersediaan bahan baku dan ongkos bahan bakar yang murah.
Ketua Komite Tetap Pengembangan Ekspor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Handito Joewono mentakan pengusaha telah menyusun pengembangan ekspor sejak 2016. Sehingga, harapannya pemerintah seharusnya bisa menyesuaikan rencana pengembangan itu dengan kebijakan yang tepat.
Dia juga mengatakan, industri otomotif dan tekstil sudah memiliki kapasitas untuk meningkatkan ekspor produk jadi. "Sekarang tergantung sikap pemerintah untuk memberikan insentif yang besar supaya industri memiliki kepastian produksi," kata Handito.
Selain itu, Kadin juga sedang menyusun daftar lengkap tentang pengembangan ekspor produk ekonomi kerakyatan yang menurutnya memiliki potensi besar. Pengusaha pun mendorong produk busana, kriya, serta pangan agar bisa menembus pasar ekspor.
Busana merupakan industri kreatif yang tengah berkembang pesat di daerah. Kriya seperti kerajinan tentang dekorasi dan desain interior juga saat ini semakin banyak peminatnya. Produk pangan tentang makanan atau minuman unik juga memiliki potensi permintaan masyarakat global.
(Baca: Permintaan Melemah, Pemerintah Siapkan Kebijakan Diversifikasi Ekspor)
Sehingga, Kadin membentuk Gerakan Ekspor Nasional untuk meningkatkan minat pelaku usaha di daerah dengan orientasi ekspor. "Kapasitas sudah ada, ekspor pelaku usaha baru segmen kecil dan menengah akan lebih terasa kepada devisa dan kesejahteraan rakyat," ujar Handito.
Pemerintah pun sudah memiliki kebijakan Paket Ekonomi Sembilan tentang agregator atau konsolidasi produk ekspor. Meski BUMN yang menjadi fasilitator, tetapi pengusaha ikut serta sebagai pengumpul produk untuk ekspor.
Dengan relaksasi, pemerintah akan meningkatkan nilai ekspor pelaku usaha kecil dan menengah. Menurut perhitungaannya, kontrubusi ekspor pelaku usaha kecil menengah saat ini hanya sekitar 3% dari total keseluruhan nilai ekspor.
Berdasarkan BPS, total ekspor nonmigas sepanjang Januari hingga November 2018 hanya meningkat 7,47% dari periode yang sama tahun lalu. Sementara Kementerian Perdagangan menargetkan kenaikan ekspor sepanjang tahun ini sebesar 11%, atau 3% lebih tinggi dibanding realisas yang ada saat ini.
Perjanjian Dagang
Menanggapi tentang optimalisasi ekspor tahun ini dan tahun depan, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan pemerintah terus melakukan penyelesaian perjanjian perdagangan untuk membuka pasar ekspor. Sebab, perjanjian perdagangan bakal memberi keuntungan berupa pembebasan pos tarif produk ekspor sehingga menjadikan produk dalam negeri menjadi lebih kompetitif.
Enggar juga mengatakan, setelah penyelesaian dengan European Free Trade Agreement (EFTA) dan Chile, pemerintah terus mengejar penandatanganan dengan Australia, Mozambique, Tunisia, dan Maroko. Kemudian, Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) dan Uni-Eropa juga ditargetkan selesai tahun depan.
RCEP merupakan perjanjian dagang antara 10 negara Asia Tenggara dengan India, Tiongkok, Korea Selatan, Jepang, Australia, dan Selandia Baru. "Itu 50% populasi dunia, menjembatani permasalahan antarnegara bukan hal yang mudah, kita terus upayakan," kata Enggar.
Sementara itu, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menuturkan pemerintah akan terus membahas peningkatan industri berorientasi ekspor produk manufaktur. Airlangga menekankan salah satu kebutuhan adalah kemudahan pelaku usaha untuk investasi.