Defisit neraca perdagangan Indonesia diprediksi bisa mencapai US$ 9 miliar hingga akhir tahun. Nilai defisit perdagangan akan bertambah, karena pada Desember 2018 permintaan barang oleh sejumlah negara mitra dagang Indonesia diperkirakan berkurang akibat aktivitas manufakturnya melambat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang Januari-November 2018 defisit neraca perdagangan Indonesia telah membus US$ 7,5 miliar.
Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menyatakan kinerja ekspor bakal melemah hingga akhir tahun karena permintaan mitra dagang utama Indonesia, yakni Amerika Serikat dan Tiongkok akan berkurang. "Jelang natal dan tahun baru, AS dan Tiongkok akan menurunkan permintaan bahan baku untuk kebutuhan industrinya," kata Bhima, Senin (17/12).
(Baca: Terdalam Sepanjang 2018, Neraca Dagang November Defisit US$ 2,05 M)
Fenomena itu tercermin dalam ekspor Indonesia pada November yang berkurang 5,04% ke AS dan 7,1% ke Tiongkok. Pengurangan itu disebabkan oleh faktor perang dagang yang terlambat diantisipasi pemerintah.
Menurutnya, hambatan dagang sawit di pasar internasional, terutama Uni-Eropa dan India, seharusnya segera ditangani pemerintah dan pengusaha. Pergeseran ke pasar nontradisional serta upaya lobi otoritas mitra dagang tradisional membuat nilai ekspor menjadi stagnan.
Pada Novembe 2018, produk unggulan minyak kelapa sawit mengalami penurunan ekspor sebesar 9,83% jika dibandingkan Oktober 2018. Ekspor sawit ke India juga mengalami perlambatan hingga 14,65% karena kondisi politik dalam negerinya. "India mau pemilu tahun depan, sehingga proteksi dagang sawit akan menjadi isu yang akan dijual petahana kepada masyarakat," ujar Bhima.
Sementara itu, impor barang konsumsi hanya turun tipis dengan persentase sebesar 4,7% secara bulanan. Namun, secara akumulasi Januari-November 2018, pertumbuhan impor barang konsumsi masih tumbuh sebesar 22,1% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Impor minyak dan gas yang secara bulanan turun 2,8% juga tak terpengaruh oleh program biodiesel 20% (B20). Karena rupanya Pertamina sudah mengimpor stok bahan bakar minyak untuk memenuhi kebutuhan akhir tahun.
(Baca: Impor Melonjak, Darmin Sebut karena Dampak Pertumbuhan Ekonomi)
BPS juga melaporkan neraca dagang bulan November defisit US$ 2,05 miliar. Angka ini merupakan rapor merah defisit perdagangan yang ke delapan kali terhitung sejak awal tahun, sekaligus menjadi defisit terdalam sepanjang sebelas bulan pertama 2018.
Defisit perdagangan November 2018 disebabkan oleh selisih impor yang lebih tinggi dibandingkan ekspor. Menurut BPS, ekspor periode November 2018 hanya sebesarUS$ 14,83 miliar, sedangkan realisasi impor tercatat lebih tinggi yakni sebesar US$ 16,88 miliar.
Atas realisasi defisit ini, Kepala BPS Suhariyanto menyatakan pemerintah ke depan harus bekerja keras untuk meningkatkan ekspor serta mengendalikan impor. "Perlu waktu sehingga neraca dagang bisa menjadi surplus," kata Suhariyanto.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan sebelumnya mengungkapkan strategi memperbaiki neraca dagang hanya bisa dilakukan melalui peningkatan ekspor. "Kami tidak bisa menahan impor karena bisa mengorbankan industri, padahal kita harus terus mendorong manufaktur untuk ekspor," ujar Oke.
Dia menyebutkan, pemerintah tak bisa menghentikan impor barang modal dan bahan baku penolong yang mencapai 90% dalam struktur impor, karena akan mengancam proses produksi hingga ekspor produk manufaktur. Pengendalian impor barang konsumsi juga tak terlalu signifikan karena porsinya hanya sekitar 10%.